Rabu, 21 September 2011

pangeran ^_^

aku telah lama sendiri,
mengeja hidup untuk sebuah kematangan hati...
dimanakah sang pangeran penolong hari sepi ku?
tak ingin iris hati kecil-kecil,
inginkan keutuhan jiwa suci...
meski aku tau aku telah tern0da,
selayakx aku ini apa!?
peminta kesempurnaan??
tidak.
aku hanya ingin lebih baik,
sebelum pangeranku menjemput ku membawa ke dunia surga :)

Minggu, 11 September 2011

Mimpi Mimpi Si Patah Hati (cerita 15 buku langka tereliye)


KUPU-KUPU MONARCH

Aku lama tidak kembali ke kota ini. Hampir dua puluh tahun. Perjalanan yang melelahkan. Mengelilingi separuh dunia hanya untuk melupakan. Hari ini aku pulang. Berusaha mengenang semua jejak kaki. Semoga masih ada yang tersisa. Semoga masih ada yang kukenali. Dengan semua kenangan itu, bukan keputusan mudah untuk kembali. Seperti menoreh kembali luka yang sudah mengering. Menyakitkan. Tapi ibarat seekor bangau yang terbang jauh, aku harus kembali jua ke kota ini. Rindu. Tak mengapa mengenang sedikit luka itu.
Aku berdiri takjim di pemakaman kota.  Menatap sekitar.
Sepagi ini pemakaman kota terlihat begitu indah. Dipenuhi hiasan bunga. Merah. Kuning. Putih. Bertebaran. Bebungaan yang disampirkan di nisan-nisan besar. Bebungaan melilit kayu yang dipasang silang-menyilang. Bebungaan di air mancur tengah pemakaman. Bebungaan di patung yang banyak berserak. Sungguh pekuburan berubah menjadi taman bunga. Nuansa buram kecoklatan berpadu dengan warna-warni ceria. Hari ini: Hari Monarch. Hari di mana seluruh penduduk kota kami meyakinijiwa yang pergi akan kembali. Hari ini penduduk kota akan berpiknik di pemakaman.
Tepat benar dengan jadwal kedatanganku.
Semburat cahaya matahari pagi menambah magis suasana. Menelisik sela-sela dedaunan pohon cemara. Cahaya itu seolah menggantung di atas barisan nisan. Aku tersenyum, bukan menatap ribuan larik cahaya memesona, lebih karena menatap ribuan kupu-kupu kuning yang memenuhi pemakaman, sudut-sudut kota, pohon-pohon cemara. Kupu-kupu itu disebut Monarch. Kupu-kupu itu hanya datang sekali setahun ke kota ini. Terbang. Membuat anak-anak berlarian mengejarnya. Membuat pasangan berpelukan mesra melihatnya. Atau sekadar membuat penziarah pemakaman seperti aku menghela nafas lega.
Kupu-kupu itulah jiwa-jiwa yang kembali. Sepanjang hari terbang tanpa takut dengan penduduk kota. Entah dari mana datangnya. Dan sore hari, persis ketika senja membungkus bibir pantai, kupu-kupu itu kembali ke hutan cemara tepi danau yang berada dekat kota. Lenyap. Selalu begitu, beratus-ratus tahun. Tidak pernah ingkar memenuhi janji setianya, selalu datang sehari setiap tahun.
Jam di kapel tua berdentang. Sembilan gema yang panjang dan berwibawa. Aku takjim mendengarnya. Perayaan ini akan segera dimulai. Orang tua mulai bergegas meneriaki anak-anak mereka. Segera turun. Bekal piknik disiapkan. Pakaian tebal dan topi disampirkan. Menuju pemakaman kota.
Seekor kupu-kupu hinggap di ujung lengan mantelku. Aku menatapnya lamat-lamat. Menghela nafas,“Apakah itu kau, Cindanita? Putri duyung kecilku? Apakah itu kau yang kembali?”
Jalanan mulai ramai oleh penziarah. Anak-anak berlarian, enggan dikendalikan. Satu dua hampir menabrakku. Berkejaran riang. Hari ini sekolah diliburkan. Aku menepi, memberikan jalan bagi serombongan warga kota yang datang. Mereka mengangguk pelan. Berbincang akrab satu sama-lain. Menunjuk kupu-kupu yang berterbangan. Hari ini seluruh kegembiraan melingkupi pemakaman besar ini. Semua datang untuk berkunjung.
Kupu-kupu itu masih hinggap di mantelku. Aku mendesah lirih, “Aku sungguh rindu padamu, Cindanita.”

***

Dua ratus tahun silam.
Legenda itu dimulai di sini. Legenda yang selalu diceritakan turun-temurun oleh tetua kota. Diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dengan pesan sederhana, jangan pernah mengulangi kesalahan yang dilakukan Fram, si petani miskin.
Aku ingat setiap kalimat kisahnya. Terpesona saat pertama kali mendengarnya. Meyakini cinta sejati sejak hari itu. Merasa kehidupan akan jauh lebih indah ketika perasaan itu muncul. Seperti indahnya setiap melihat kupu-kupu monarch yang terbang mengelilingi pemakaman.
Dua ratus tahun silam, alkisah Fram amat beruntung mendapatkan istri sebaik itu. Kembang kota. Di antara puluhan pemuda yang menyanjung dan menyatakan cinta, gadis itu justru memilih Fram, pemuda miskin yang tinggal di danau dekat kota. Meninggalkan janji kehidupan yang lebih baik yang bisa diberikan pemuda kaya lainnya. Tidak juga, gadis itu di hari pernikahannya tersenyum riang dan berkata, “Aku akan menjemput janji cintaku, tidak ada janji kehidupan yang lebih hebat dari itu, bukan?”
Fram mencintai istrinya. Dan jangan ditanya apakah istrinya mencintai Fram. Masalahnya, apakah cinta itu? Apakah ia sebentuk perasaan yang tidak bisa dibagi lagi? Apakah ia sejenis kata akhir sebuah perasaan? Tidak akan bercabang? Tidak akan membelah diri lagi? Titik? Penghabisan? Bukankah lazim seseorang jatuh-cinta lagi padahal sebelumnya sudah berjuta kali bilang ke pasangan-pasangan lamanya: “Ia adalah cinta sejatiku.”
Ah! Urusan ini benar-benar rumit. Awalnya keluarga muda itu memulai kehidupan bahagia selama lima tahun. Walau miskin, mereka selalu merasa berkecukupan. Apalagi istrinya tidak banyak menuntut, selain perhatian dan kasih-sayang. Tepi danau kota kami seperti berubah menjadi taman bunga. Pondok kecil mereka berdiri indah di tengah hamparan kembang. Itulah kesukaan istri Fram sejak kecil. Kupu-kupu.
Sayang, di penghujung tahun ke lima pernikahan mereka, musim dingin datang tak-terperikan. Kota kami dikungkung badai salju berhari-hari. Berminggu-minggu. Berbulan-bulan. Tidak ada yang tahu hingga kapan. Salju di mana-mana. Pohon-pohon meranggas dibalut gumpalan es. Kembang-kembang layu ditimbun tumpukan es. Danau membeku. Dan tidak ada yang berniat menjejak laut yang sepanjang hari digantang angin-badai.
Seluruh kota mengalami kesulitan besar. Berebut makanan menjadi pemandangan sehari-hari. Enam bulan kemudian, harga sepotong roti tawar sebanding dengan sebutir peluru. Tak ada yang bisa mengalahkan urusan perut. Kota kami yang elok bertetangga selama ini, karut-marut oleh perkelahian. Dan celakanya, itu semua belum cukup, penyakit aneh mendadak menjalar dengan cepat. Tubuh-tubuh lumpuh. Muka pucat. Bibir membiru. Dan kematian!
Enam bulan sejak penyakit aneh itu tiba, kota kami benar-benar tak-tertolong. Sepanjang hari hanya kidung sedih yang terdengar. Nyanyian duka-cita. Pemakaman demi pemakaman. Bagaimana dengan Fram dan istrinya? Jika di kota saja urusan ini pelik apalagi bagi mereka. Enam bulan pertama mereka menghabiskan cadangan umbi-umbian di gudang. Enam bulan berikutnya, dimulailah cerita memilukan penuh pengorbanan tersebut. Fram terkena penyakit ganjil itu.
Tubuhnya membeku di atas ranjang. Tanpa bisa digerakkan. Tinggallah istrinya yang kalut oleh banyak hal. Ia tahu persis, sejak memutuskan menikah dengan Fram, bahwa tentu saja tidak setiap hari janji kebahagiaan itu akan datang dalam kehidupan cinta mereka. Ada kalanya masa getir tiba. Dan saat itu benar-benar terjadi, tiba waktunya untuk menunjukkan betapa besar cinta itu. Bukan sekadar omong-kosong.
Tak pernah terbayangkan tangan lembut itu mengais-ngais tumpukan salju, berusaha menemukan sisa umbi-umbian yang tersisa. Terseok mengumpulkan kayu bakar di hutan. Melubangi permukaan danau mencoba peruntungan mendapatkan ikan. Memperbaiki atap rumah yang rusak. Menambal dinding-dinding yang robek oleh badai salju.
Istri Fram berjanji akan bertahan hidup.
Dan semakin menyedihkan pemandangan itu, karena setiap malam dia dengan sabar merawat suaminya yang terbaring lumpuh di atas tikar. Menyuapinya dengan penuh kasih-sayang. Menggendong tubuh suaminya yang semakin ringkih mendekati perapian. Membuang sisa kotoran dari suaminya di atas ranjang. Memandikannya dengan air hangat. Istri Fram bersumpah akan bertahan hidup, demi suaminya.
Dua belas bulan musim dingin itu tidak menunjukkan tanda-tanda akan berbaik hati. Kerusuhan besar menjalar di kota kami. Kecamuk orang-orang yang kelaparan dan sakit semakin menjadi-jadi. Dan di tengah kota yang sekarat itu, seorang penziarah entah dari mana datangnya singgah. Penziarah itu amat teganya mengatakan kalimat yang paling tidak logis bagi penduduk kota, semua penyakit aneh ini hanya bisa disembuhkan dengan memakan: daging. Astaga, di mana lagi mereka akan menemukan daging hari ini? Seluruh ternak tak bersisa. Seluruh cadangan makanan tak berbekas.
Sementara Fram semakin menyedihkan. Sehari kemudian tubuhnya mendadak kejang-kejang. Sekarat. Istrinya panik. Malam itu juga sambil terseok-seok dia menggendong Fram menuju kota. Meminta pertolongan tabib. Badai datang menghajar apa saja. Pohon cemara bertumbangan. Istri Fram mendesis, menggigit bibir berusaha melalui badai salju. Entah dari mana kekuatan itu, dia tiba di kota keesokan harinya. Dengan tubuh biru. Kedinginan.
Sayang, tidak ada pertolongan yang tersisa di kota. Tabib mengangkat bahu, menatap amat prihatinnya. “Aku tidak tahu apa itu benar. Berikan suamimu sepotong daging! Semoga itu menyembuhkannya!” Istri Fram sungguh menatap tak percaya. Kecewa. Sedih. Setelah perjalanan melelahkan ini, ternyata hanya untuk mendengarkan saran gila itu? Gemetar dengan sisa tenaga ia membawa Fram kembali ke rumah tepi danau. Menyedihkan. Tubuh yang semakin kurus-ringkih itu terhuyung, mencoba terus bertahan.
Jangankan daging, sepotong umbi-pun sudah sulit didapat. Ia sudah membongkar seluruh bekas kebun suaminya. Tidak ada. Kalaupun ada, sudah membusuk. Ikan-ikan di danau itu juga entah pergi kemana. Istri Fram menangis. Menatap wajah suaminya yang semakin sekarat. Ia tahu, se-sejati apapun cinta mereka, pastilah mengenal perpisahan. Ia tahu sekali itu. Tapi ia ingin berpisah dengan suaminya dalam sebuah pelukan yang indah. Saat satu-sama-lain bisa saling menyebut nama. Bukan seperti ini. Malam itu suaminya benar-benar tidak akan tertolong lagi. Istri Fram tersedu memeluk tubuh suaminya.
Tetapi, hei! Sudut matanya menangkap seekor belibis hinggap di jendela. Belibis? Istri Fram menyeka ujung matanya. Ganjil sekali. Bagaimana mungkin ada seekor belibis tersesat di musim dingin seperti ini? Tapi ia tidak sempat memikirkannya. Dengan gesit ia berusaha menangkap belibis tersebut. Jatuh bangun berkali-kali. Mantelnya robek. Setengah jam berlalu, setelah mengerahkan sisa-sisa tenaga tubuhnya, ia tersenyum lebar menjepit sayap belibis tersebut.
Malam itu, takdir langit di tepi danau itu berubah. Sepotong daging yang masuk ke dalam perut Fram mengembalikan kesehatannya. Malam itu, takdir langit di kota kami juga berubah. Musim dingin berkepanjangan tersebut berakhir. Digantikan semburat cahaya matahari pagi. Gumpalan salju mencair. Kecambah mekar tak-terbilang. Tunas tumbuh menghijau. Janji kehidupan baru datang.

***

Tapi cerita yang lebih menyedihkan baru saja dimulai. Tidak ada yang tahu kalau seekor belibis itu memiliki pasangan. Menurut keyakinan penduduk kota kami, dalam waktu tertentu, dewa-dewi di surga turun menjejak bumi. Celakanya belibis itu turun di waktu dan tempat yang salah.
Fram dan istrinya kembali ke keseharian mereka dulu yang menyenangkan. Tubuh Fram kembali kekar. Dia mengambil-alih tugas istrinya selama ini. Terlebih kaki istrinya pincang sekarang, terpotong hingga pangkal betis. “Terkena pohon cemara yang roboh. Membusuk. Jadi aku potong!” Istrinya menjelaskan. “Kau tetap cantik meski pincang, istriku!” Fram bergurau riang. Istrinya bersemu merah. Dan kebahagiaan mereka semakin lengkap saat enam bulan kemudian istrinya hamil. Benar-benar kabar yang menyenangkan.
Saat kandungan istrinya menjejak tujuh bulan. Terjadilah peristiwa aneh itu. Fram yang sedang berburu rusa di hutan cemara, tidak-sengaja melihat seekor belibis indah. Hei? Semangat Fram mengejarnya. Bukan main, belibis itu benar-benar indah. Melupakan banyak keganjilan. Fram berkali-kali jatuh mengejar belibis itu hingga ke tepi danau. Dan terperanjatlah! Dia tidak menemukan seekor belibis yang sedang berenang, tapi seorang wanita yang sedang mandi.
Apakah cinta sejati itu? Apakah ia sebentuk perasaan yang tidak bisa dibagi lagi? Apakah ia sejeniskata akhir sebuah perasaan? Tidak akan bercabang? Tidak akan membelah diri lagi? Titik? Penghabisan? Bukankah lazim seseorang jatuh-cinta lagi padahal sebelumnya sudah berjuta kali bilang ke pasangan-pasangan lamanya: “Ia adalah cinta sejatiku!”
Entah bagaimana caranya, Fram jatuh cinta pada pandangan pertama dengan gadis belibis tersebut. Duhai! Celakalah urusan ini! Jalan kisah menjadi berpilin menyakitkan. Bukannya menghabiskan waktu bersama istrinya yang sedang hamil tua di rumah, Fram malah lebih banyak duduk di tepi danau. Bercengkerama dengan gadis itu.
Di mata Fram, gadis itu sungguh menyenangkan. Memesona. Pakaiannya indah berkemilauan. Perhiasannya cemerlang. Wajahnya bagai guratan sempurna pematung tersohor. Tubuhnya memikat. Fram benar-benar jatuh-cinta, tak pernah dia menyadari ternyata cinta bisa sehebat ini.
Malangnya nasib istri Fram, seminggu sudah suaminya tidak pulang-pulang. Ia hanya menunggu cemas di bawah pintu. Sementara perutnya semakin membuncit. Dua minggu lagi bayinya akan lahir. Di tengah putus-asanya menunggu, pagi itu, persis saat cahaya matahari menerabas sela dedaunan pohon cemara, persis saat bunga-bunga bermekaran di halaman pondok, istri Fram memutuskan mencari suaminya.
Pencarian yang menyesakkan. Dengan sepotong tongkat, istri Fram menopang tubuhnya yang kesusahan menyisir hutan cemara. Dan lebih menyesakkan lagi saat ia akhirnya menemukan Fram yang tergila-gila, sedang berdua dengan gadis cantik tersebut.
Tersungkurlah istri Fram! Lirih memanggil suaminya. Duhai, Fram hanya melirik selintas, lantas menyuruhnya pergi. Seperti tidak pernah mengenalnya.
Seperti tidak pernah mengenalnya.
Menangis istri Fram! Lemah berusaha memeluk kaki suaminya. Duhai, Fram justru mengibaskannya. Membuat tubuh dengan perut buncit itu jatuh terjungkal. Tongkat yang dibawanya tak-sengaja mengenai kepala. Istri Fram mengaduh kesakitan. Meski ada yang lebih sakit lagi di hatinya.
Di manakah janji cintanya? Di manakah? Semuanya musnah. Benar-benar saat mereka sedang berbahagia menanti anak pertama mereka. Istri Fram gemetar berusaha berdiri. Lirih memanggil dewa-dewi di surga demi sebuah keadilan. Ia gemetar berdiri dengan sebelah kakinya, pincang berusaha mencengkeram bebatuan.
Fram tidak peduli. Menarik tangan gadis belibis, mengajaknya pergi menjauh. Tapi sebelum itu terjadi, dewa-dewi di surga yang melihat kejadian itu turun ke bumi. Mengungkung tepi danau dengan gemerlap mereka.
“Siapakah yang memanggil dan meminta penjelasan?”
“Aku….” Istri Fram menjawab lirih.
Dan menjadi teranglah urusan itu. Gadis cantik itu adalah penjelmaan pasangan belibis yang tersesat di pondok Fram dua tahun silam. Justeru gadis cantik itu menuntut keadilan. Istri Fram tersedu mendengar tuntutan itu, dia tidak menyangka urusan berubah sedemikian rupa.
“Baik, yang terjadi, biarlah terjadi. Maka biarlah Fram yang memutuskan masalah ini. Apakah ia akan memilihmu atau memilih gadis belibis. Wahai, karena kau seorang manusia, dan gadis belibis ini separuh dewa-dewi, maka kami akan memberikan kau tiga kali kesempatan untuk menghilangkan kelebihan miliknya atau menambahkan kelebihan milikmu. Setelah itu apakah Fram akan memilihmu atau gadis belibis itu terserah padanya.”
Istri Fram menyeka air-matanya.
“Aku ingin seluruh sihir milik gadis ini dihilangkan!”
Cahaya yang mengungkung gadis belibis mendadak lenyap. Pakaiannya kehilangan kemilau. Perhiasannya berubah menjadi kerikil batu. Tetapi, duhai, tetap saja ia terlihat lebih cantik dari siapapun di tempat itu. Tetap memesona. Fram dengan mudah memutuskan memilih gadis belibis itu. Istri Fram mengeluh tertahan.
“Aku ingin seluruh sihir yang masih mengungkung suamiku dihilangkan!” Istri Fram menyebut kesempatan keduanya. Gentar sekali menunggu hasilnya.
Sekejap cahaya yang membalut tubuh Fram sejak pertama kali dia melihat burung belibis itu menghilang. Sihir pesona itu lenyap. Petani miskin itu tiba-tiba seperti baru tersadarkan. Tetapi, wahai, apalah arti cinta sejati? Gadis belibis itu tetap memesona meski sihirnya tidak lagi menutup mata dan membebalkan otaknya. Fram sekali lagi tega memilih gadis belibis itu.
Istri Fram jatuh terduduk.
Oh…. Di manakah sisa-sisa janji cinta itu? Di manakah?
“Aku ingin Fram melihat janji kebahagiaan yang diberikan oleh bayi yang kukandung!” Istri Fram berkata lirih. Menyebut kesempatan ketiga sekaligus terakhirnya.
Siluet cahaya menggetarkan mengungkung kepala Fram. Dia seperti menyaksikan visualisasi nyata masa-depan mereka. Kehidupan yang menyenangkan di pondok dengan anak-anak mereka…. Taman bunga di tepi danau. Tetapi, apalah gunanya janji masa depan itu? Fram mengibaskannya. Dia merasa memiliki janji kehidupan yang lebih indah bersama gadis belibis ini…. Fram mendesis memilih gadis belibis.
Tersungkurlah istri Fram sekarang. Menangis. Tiga kali kesempatan, habis sudah pengharapannya. Musnah. Tepi danau itu senyap, hanya diisi oleh berlarik suara tangisan.
Fram meraih tangan gadis belibis di sebelahnya. Mengajaknya pergi. Matanya benar-benar dibutakan oleh tampilan. Tega sekali dia memberangus kehidupan bersama istrinya. Dewa-dewi menghela nafas tertahan. Apapun hasilnya, semua sudah selesai. Mereka beranjak hendak pergi. Saat itulah salah-seorang dewa-dewi itu berkata lirih.
“Kenapa kau tidak menggunakan kesempatan terakhirmu untuk menunjukkan kejadian yang sebenarnya, wahai wanita yang malang.”
Wajah-wajah tertoleh. Seorang dewa yang amat cemerlang wajahnya terbang mendekati istri Fram.
“Kenapa kau justru menggunakan kesempatan terakhirmu untuk memperlihatkan janji masa depan?”
Istri Fram tersedu, menggeleng. Menyeka pipinya.
“Wahai wanita yang malang,  kenapa kau tidak meminta kami menunjukkan dengan nyata kejadian malam itu. Agar suamimu melihatnya. Agar gadis belibis ini melihatnya.”
Istri Fram berkata lirih, tertahan, “Aku tidak ingin cintanya kembali karena dia merasa berhutang budi.”
Dewa dengan wajah cemerlang itu tertawa getir.
“Kau melakukannya karena cinta, wahai wanita yang malang. Maka tidak ada hutang-budi. Ah, urusan ini benar-benar menyakitkan! Amat menyakitkan!” Dewa itu menoleh ke arah Fram, dengan tatapan menghinakan, ”Kau tidak pernah tahu mengapa istrimu pincang, wahai pemuda yang sepatutnya dikasihani. Dan kau, gadis belibis yang menyedihkan, kau tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi dengan belibis pasanganmu. Biarlah hari ini seluruh dewa-dewi menjadi saksi, dalam urusan cinta ini mereka yang berkuasa atas segenap urusan ternyata sama sekali tidak kuasa untuk terlibat dalam urusan sesederhana ini.”
Maka melesatlah dewa dengan wajah cemerlang itu ke angkasa, menyusul dewa-dewi lainnya. Meninggalkan istri Fram yang menangis tersungkur sendirian. Istri Fram yang hamil tua. Istri Fram yang menyimpan kisah sesungguhnya apa yang terjadi malam itu, ketika suaminya sekarat. Yang dia tidak ingin suaminya lihat. Hingga merasa berhutang-budi.
Fram dan gadis belibis itu justeru sudah pergi segera.

***

Aku menghela nafas panjang. Pemakaman semakin ramai oleh penziarah. Dua puluh tahun berlalu. Benar-benar tidak ada lagi yang kukenali di kota ini. Semua sudah berubah.
Jangan pernah melakukan hal bodoh seperti Fram, si petani miskin. Kalimat itu terngiang kembali. Aku tertunduk menatap pusara Cindanita-ku. Mengusap batu besar yang mengukir namanya. Aku tidak pernah melakukan hal bodoh itu, Putri Duyung Kecilku. Tapi Mama-mu melakukannya. Dan aku sungguh tidak tahu apakah itu sebuah kebodohan atau bukan.
“Mengertilah, Sam. Pernikahan kita sudah selesai. Aku mencintainya. Aku seperti anak remaja yang jatuh cinta lagi. Anak remaja yang pertama kali mengenal kata cinta!”
“Ya Tuhan, apa yang akan kau lakukan?”
“Aku akan pergi bersamanya.”
“Bagaimana dengan janji cinta kita?”
“Semua sudah berakhir, Sam. Biarkan aku pergi! Aku lelah dengan kehidupan kota ini. Aku tidak akan pernah bisa menggapai mimpiku. Aku lelah hanya bernyanyi di tengah pesta seadanya, orang-orang biasa.”
“Bagaimana mungkin kau akan melakukannya? Bagaimana dengan masa-masa indah pernikahan kita?”
“Aku mencintai pemuda itu, Sam. Aku akan pergi bersamanya, aku merasa muda lagi. Seperti gadis remaja yang kasmaran, aku sungguh seperti menemukan cinta sejati…. Dia cinta sejatiku, Sam!”
“Bagaimana dengan Cindanita.”
Suaraku hilang ditelan desau angin laut. Sempurna hilang bersama dengan perginya Mama-mu, Sayang. Kau yang masih berbilang enam bulan sungguh tidak beruntung. Papa-mu tertatih dengan kehidupan baru. Sendiri. Tertatih dengan semua beban kehidupan, dan itu semakin bertambah saat kau jatuh sakit dan tak pernah kunjung sembuh.
Maafkan aku, Cindanita-ku.
Aku menyeka  ujung mata. Kupu-kupu semakin banyak memenuhi pemakaman kota. Orang-orang semakin riang bercengkerama. Tidak semuanya riang. Ada juga satu-dua yang sepertiku menangis di depan pusara. Ada yang berpelukan haru satu-sama lain. Bersama keluarga. Bersama anak-anak mereka. Aku tidak. Hari ini setelah memutuskan pergi menjauh, aku kembali seorang diri.
Mendongak menatap ribuan siluet kuning. Jiwa-jiwa yang pergi kembali hari ini. Persis seperti yang terjadi dengan istri Fram, petani miskin itu. Sejak kejadian di tepi danau, tidak ada yang tahu kemana Fram dan gadis belibis itu pergi menghilang. Juga tidak ada yang tahu kemana istrinya yang hamil tua pergi. Yang penduduk kota tahu, persis setahun kemudian setelah kejadian tersebut, dua ekor kupu-kupu kuning terbang mengunjungi kota. Satu kupu-kupu besar dengan anaknya yang mungil.
Setahun berikutnya kupu-kupu itu bertambah menjadi belasan. Setahun berikutnya puluhan. Setahun berikutnya ratusan. Hingga ribuan seperti hari ini. Mereka kembali.
Aku menatap pucuk-pucuk pohon cemara.
Apakah cinta sejati itu? Istriku pergi hanya karena ia lelah dengan kehidupan kecil kota kami. Menemukan pemuda yang menjanjikan masa depan lebih baik. Pasangan-pasangan lain hari ini juga berpisah karena alasan-alasan sepele.  Bosan. Merasa terkekang. Merasa pasangannya sudah berubah. Atau bahkan hanya karena alasan-alasan yang dicari. Apakah itu cinta kalau kau setiap saat bisa jatuh cinta lagi dengan gadis lain? Dengan pemuda lain?
Esok-lusa, alasan mereka berpisah akan semakin sepele. Bahkan mungkin mereka tidak perlu alasan lagi untuk berpisah. Padahal percayakah kalian, seminggu setelah berpisah dengan pasangan lamanya, mereka akan menemukan pasangan baru. Buncah dengan kata: “Kaulah cintaku!” “Aku belum pernah merasakan cinta sehebat ini.” Dan berpuluh-puluh kalimat dusta lainnya. Terus saja begitu. Seperti siklus yang berulang. Apakah cinta itu? Mungkin hanya istri Fram, si petani miskin yang bisa menjawabnya.
Kau ingin mendengar penjelasan yang sesungguhnya di malam saat Fram sekarat, Cindanita-ku? Kau ingin tahu? Baiklah, akan aku bisikkan, semoga setelah itu sama sepertiku dulu kau akan tetap mempercayai adanya cinta, meski bisa jadi kau dalam posisi yang tersakiti, anakku.
Aku memandang lemah seekor kupu-kupu kuning yang terus hingga di ujung mantelku. Cahaya pagi mengambang indah. Berlarik-larik menembus kabut memesona. Orang-orang semakin ramai memenuhi pemakaman kota.

***

Lama sekali istri Fram memandangi belibis di tangannya. Mendadak ia merasakan ada yang ganjil. Lihatlah, mata belibis itu menyimpan perasaan takut kehilangan sesuatu. Cemas berpisah dengan sesuatu. Istri Fram mengenali tatapan itu. Tatapan itu sama seperti tatapan miliknya, tatapan yang amat takut kehilangan suaminya. Takut berpisah dengan suaminya.
Fram semakin kejang. Melenguh tertahan. Istri Fram gemetar mengambil pisau. Sekali lagi menatap mata belibis dalam jepitan tangannya. Belibis ini pasti memiliki pasangan, sama seperti dirinya yang memiliki pasangan. Tidak. Istri Fram berkata lirih. Malam ini, jika sepotong daging itu akan mengobati suaminya, itu tidak akan berasal dari belibis elok ini.
Biarlah dewa-dewi menjadi saksi, biarlah semua ini menjadi bukti cinta sejatinya. Istri Fram sambil menggigit bibir gemetar menebaskan pisau tajam. Bukan ke leher belibis, tapi ke betis kakinya. Sempurna memotong. Malam itu, istri Fram memberikan ‘daging’ miliknya.
Dia melepas pergi belibis jelmaan itu. Itulah yang terjadi. Malangnya, belibis jantan yang hendak kembali terbang ke langit terjerambab di pecahan es danau. Mati tenggelam tanpa seorang pun tahu, juga termasuk pasangan betinanya. Malam itu, istri Fram telah membuktikan cinta sejatinya. Andaikata demi kesembuhan suaminya ia harus memberikan jantungnya, maka itu pasti akan diberikannya.
Hari ini, setiap tahun istri Fram kembali. Kupu-kupu kuning yang memenuhi pemakaman kota. Kupu-kupu indah yang terbang di sela-sela cahaya matahari pagi yang menembus dedaunan pohon cemara. Mengambang. Memesona. Hari ini, istri Fram selalu menunaikan janji cinta sejatinya. Dulu iya, sekarang masih, esok-lusa pasti.
Aku juga akan selalu setia dengan janji cinta sejatiku.
Beristirahatlah dengan tenang, Cindanita-ku.

***

Mimpi Mimpi Si Patah Hati (cerita 14 buku langka tereliye)


PERBANDINGAN2 


JONI, hari ini ujian skripsi. Bangun pagi-pagi. Semangat. Yakin dengan semua persiapan. Tiba di kampus 45 menit sebelum pintu ruang ujian dibuka. Menunggu di aula depan gedung Departemen Akuntansi. Masih sempatlah SMS sana, SMS sini. Bilang hari ini dia mau sidang skripsi. Pliz, kasih doa-doa biar lancar. Setengah jam berlalu, sayang sepuluh SMS dikirim, tak satupun yang ngasih reply. Mungkin teman-temannya lagi sibuk. Mungkin masih di jalan. Mungkin HP mereka tertinggal. Mungkin entahlah. Joni membesarkan hati.
Dosen penguji mulai berdatangan. Joni semakin ketar-ketir. Eh, masa’ iya nggak ada teman-temannya yang reply SMS? Joni mencet-mencet nomor. Mencoba menghubungi teman-temannya. Apes! Nada sibuk. Kalaupun ada nada tunggu, ya nggak diangkat-angkat. Pada kemana mereka hari ini?
Duh, kemana pula Puput pacarnya. Masa’ di hari sepenting ini, pacarnya nggak kasih doa selamat berjuang atau apa kek. Joni mengusap dahinya yang berkeringat. Puput mungkin masih bete. Mereka memang habis bertengkar dua hari lalu. Puput malah ngancam mau putus segala.
Teng! Waktunya masuk ruang sidang. Joni mengusir hal-hal negatif di kepalanya. Berusaha merapikan dasi dan kemeja lengan panjangnya. Berdoa sebentar. Semoga semuanya lancar.

***

DONI, hari ini ujian skripsi. Bangun pagi-pagi. Semangat. Yakin dengan semua persiapan. Tiba di kampus 45 menit sebelum pintu ruang ujian dibuka. Menunggu di aula depan gedung Departemen Manajemen (beda sepuluh meter dengan gedung Departemen Akuntansi). Masih sempatlah SMS sana, SMS sini. Bilang hari ini dia mau sidang skripsi. Pliz, kasih doa-doa biar lancar. Setengah jam berlalu, sayang sepuluh SMS dikirim, tak satupun yang ngasih reply. Mungkin teman-temannya lagi sibuk. Mungkin masih di jalan. Mungkin HP mereka tertinggal. Mungkin entahlah. Doni membesarkan hati.
Dosen penguji mulai berdatangan. Doni semakin ketar-ketir. Eh, masa’ iya nggak ada teman-temannya yang reply SMS? Doni mencet-mencet nomor. Mencoba menghubungi teman-temannya. Sial! Nada sibuk. Kalaupun ada nada tunggu, ya nggak diangkat-angkat. Pada kemana pula mereka hari ini?
Celingukan kesana-kemari. Ngelihat Joni yang berdiri di aula Gedung Akuntansi. Sial, tuh anak hari ini ujian skripsi juga. Doni benci banget dengan Joni. Apalagi kalau bukan gara-gara Puput! Dari dulu Doni naksir berat sama Puput. Sayang Puput malah jadian sama Joni. Semoga Joni nggak lulus. Doni berseru sirik dalam hati.
Teng! Waktunya masuk ruang sidang. Doni mengusir hal-hal negatif di kepalanya. berusaha merapikan dasi dan kemeja lengan panjangnya. Berdoa sebentar. Semoga semuanya lancar.

***

Dua jam berlalu, Joni keluar dengan muka merah. Benar-benar menyakitkan. Skripsinya dibilang sampah. Dan benar-benar dibuang ke kotak sampah oleh salah-seorang dosen penguji yang punya reputasi super-killer. Hiks! TIDAK LULUS. Joni tertunduk, melangkah patah-patah keluar gedung Departemen Akuntansi.
Baru tiba di pintu aula depan, HP-nya berdengking. Puput yang telepon. “Mulai hari ini kita putus!” Puput tanpa bilang salam, tanpa say sayang, langsung to the point. “Put, dengarkan aku….” Tut. Tut. Tut. Joni panik. Berusaha telepon balik Puput. Apes! Tidak aktif. Ya Tuhan! Joni mengeluh dalam. Lihatlah, hari ini dia nggak lulus ujian skripsi dan Puput bilang putus.
Joni melangkah tertatih ke air mancur kampus. Duduk nelangsa di kursi taman. Ketemu Doni di sana.

***

Dua jam berlalu, Doni keluar dengan muka merah. Benar-benar sempurna. Skripsinya dibilang luar-biasa! Dikasih nilai A+ oleh salah-seorang dosen penguji yang punya reputasi super-killer. Dahsyat,man! LULUS. Doni melangkah riang bin gagah keluar gedung Departemen Akuntansi. Menuju air mancur kampus. Duduk dengan bangganya di kursi taman. Ketemu Joni di sana. Ngelihat tampang Joni yang nelangsa. Yes!! Kalau lihat mukanya, dia nggak lulus. Doni bersorak riang dalam hati. Benar-benar hari yang sempurna.
“Lu lulus, Jon?” Basa-basi.
Joni menggeleng lemah.
“Nggak. Sial banget gw. Lu lulus?”
Doni mengangkat bahu, sok-banget.
“Gw benar-benar apes, Don.” Joni tertunduk pelan.
“Kenapa?”
“Hari ini Puput juga mutusin gw!”
Doni bahkan hampir tak kuasa menahan diri untuk tidak melompat riang jingkrak-jingkrak.
“Gw ke kantin dulu, Jon.” Doni beranjak pergi. Hari yang menyenangkan. Teman-teman se-gengnya pasti lagi ngumpul di  kantin. Bakal seru banget ngomongin kabar hari ini.

***

Joni duduk bengong di depan air mancur. Sedih banget. Sesak. Dia benar-benar apes hari ini. Nggak lulus. Diputusin pacar. Terus lihat Doni yang bahagia banget.
Joni ngambil HP-nya dari kantong celana. Lihatlah, tetap nggak satupun teman-temannya yang replySMS. Sekali lagi mencoba send SMS. Bilang dia nggak lulus. Bilang Puput mutusin. “Hari ini gw sedih banget, frens!” Satu jam berlalu tetap nggak satupun dari (sekarang) dua puluh SMS yang dikirim berbalas. Mungkin mereka nggak tahu kalau ada SMS darinya. Joni mencet-mencet nomor. Coba menelepon. Nada sibuk. Nggak diangkat. Tidak aktif. Voice-box. Pada kemana?
Joni duduk semakin nelangsa. Lihatlah! Hari ini pas dia lagi sedih banget, justru nggak ada satu pun teman yang bisa jadi tempat curhat. Sendiri. Joni mengusap wajahnya.

***

Doni pergi ke kantin. Semangat. Mereka harus tahu kabar-baik hari ini. Doni tersenyum lebar. Tuing! Ternyata nggak ada satupun teman se-geng-nya ada di kantin. Malah kantin terlihat sepi. Kok? Doni mengambil HP di kantong celananya.
Pada ke mana sih? Masa’ SMS-nya tadi pagi belum di-reply juga? Doni send dua puluh SMS lagi. “Gila,frens, gw lulus. Trus lu tau, nggak? Puput putus sama Joni! Haha! Gw bahagia banget hari ini.” Doni duduk di kursi kantin.
Satu jam berlalu. Ampun, belum ada satupun juga reply SMS! Mungkin mereka nggak tahu kalau ada SMS darinya. Doni mencet-mencet nomor. Coba menelepon. Nada sibuk. Nggak diangkat. Tidak aktif.Voice-box. Pada kemana?
Doni menatap kosong langit-langit kafe yang sepi. Bagaimana mungkin? Hari ini dia lagi hepi banget, tapi justru nggak ada satu pun teman yang bisa jadi tempat untuk cerita kebahagiaannya. Sendiri. Doni mengusap wajahnya.

***

Percayalah, hal yang paling menyakitkan di dunia bukan saat kita lagi sedih banget tapi nggak ada satupun teman untuk berbagi. Hal yang paling menyakitkan adalah saat kita lagi hepi banget tapi justru nggak ada satupun teman untuk membagi kebahagiaan tersebut.
Tapi ada yang lebih celaka lagi, yaitu ketika kita justru senang banget pas lihat teman susah, dan sebaliknya terasa susah banget di hati pas lihat teman lagi senang. Hiks!

***

Sabtu, 10 September 2011

Mimpi Mimpi Si Patah Hati (cerita 13 buku langka tereliye)


LOVE Ver 7.0 & MARRIED Ver 9.0
Catatan: Anda sebaiknya sudah membaca Cintanometer dalam MMsPH 1


Di kota kami, walau terletak persis di tengah-tengah gurun pasir maha luas, hujan bukanlah barang langka. Jika penduduk kota ingin merasakan hujan, maka tinggal bilang ke balai kota. Seperti kemarin, anak tetangga sebelah rumah, rindu berat berlari-lari di atas gelimang lumpur, di bawah atap langit yang mencurahkan beribu-ribu bulir air kesegaran. Maka orang tuanya segera memesan hujan. Selang dua belas menit kemudian awan hitam datang berarak, guntur dan petir sambar menyambar, tak lama turunlah hujan sesuai pesanan.
Jangan salah sangka dulu, kota kami memang terpencil jauh dari seluruh penjuru dunia, tetapi bukan berarti penduduk kota kami lebih primitif dibandingkan kalian. Kami tidak memanggil hujan lewat dukun-dukun, nyanyian-nyanyian, apalagi sesembahan tak berguna itu, sebaliknya kami memanggil hujan dengan teknologi tingkat tinggi. Maju sekali, malah jauh lebih maju dibandingkan dengan menerbangkan pesawat untuk menaburkan butiran pembuat hujan di awan-awan yang biasa ilmuwan kalian lakukan.
Di sini banyak penemu. Yang terhebat di seluruh dunia, malah. Jadi jangankan soal hujan, soal rumit lainnya, seperti mobil terbang, rumah mengapung, lampu tenaga udara, pil anti lapar, suntikan seribu-penyakit dan yang lebih sulit lainnya ada di sini. Dengan berbagai penemuan hebat itu, kehidupan berjalan amat baik dan berkecukupan.
Tetapi suatu hari, dewan kota mendadak mengadakan pertemuan. Benar-benar ada hal super-penting yang telah terjadi, karena rapat ini adalah rapat mendadak untuk kedua kalinya dalam lima ratus tahun terakhir.
Para tetua risau sekali tentang sesuatu. Tentang mengapa angka pertumbuhan penduduk kota ini stagnan, bahkan dua tahun belakangan justeru minus sekian persen. Jika trend pertumbuhan penduduk tetap seperti itu, dikhawatirkan seratus hingga dua ratus tahun mendatang, penduduk kota ini akan musnah.
Lama berdebat akhirnya ditemukan-lah muasal permasalahan. Yaitu karena angka pernikahan anak-anak muda turun amat tajam. Kenapa angka pernikahan anak-anak muda turun tajam? Karena mereka terlalu takut menyatakan cinta? Cemas ditolak mentah-mentah? Dipermalukan? Takut sakit hati? Ah, itu masalah lama, masalah yang keciiil. Sudah lewat sepuluh tahun para ahli di kota kami memecahkan masalah tersebut dengan cintanometer. Alat yang dianugerahi 100 Years of Great Discovery!
Kenapa angka pernikahan tetap turun padahal sudah ada Cintanometer? Alat yang membuat kalian dengan mudah bisa mengenali pasangan yang sedang mencintai kalian? Tetua ramai berdebat, saling menyelak. Ternyata penyebabnya adalah gaya-hidup anak muda jaman sekarang. Hari ini, apa mau dikata mereka adalah generasi yang terlalu sibuk. Berangkat pagi-pagi, pulang malam hari. Bekerja tanpa lelah 60 hingga 70 jam per minggu. Benar-benar pekerja keras. Tak banyak lagi waktu yang tersisa untuk pacaran, apalagi untuk menikah.
Jadi meskipun cintanometer mereka yang trendi tersangkut di kuping berkedip-kedip menandakan ada calon pasangan yang jatuh-cinta ke mereka radius dua puluh meter, anak muda kota kami malas sekali menanggapinya. Mereka sudah terlanjur disibukkan memikirkan tumpukan berkas kerja di meja siang ini, janji meeting di gedung manalah, schedule rapat dengan siapalah. Aduh! Pacaran itu hanya membuang waktu. Tidak ada gunanya. Non-value added activity. Ada janji karir dan masa depan cemerlang yang sedang mereka kejar. Pacaran itu jelas hanya untuk pengangguran, atau pekerja kelas rendahan.
Celaka! Tetua kota kami sekarang benar-benar geleng kepala. Kalau begini terus situasinya, kota kami yang hebat akan menghadapi masalah serius. Tanpa adanya keluarga baru, tanpa adanya bayi-bayi yang dilahirkan jumlah penduduk kota turun drastis. Buat apa mereka punya teknologi terhebat di dunia jika tak ada anak-cucu yang mewarisi? Rusuh tetua kota berdebat mencari solusi. Mereka berebut mempresentasikan penemuan-penemuan canggih untuk mengatasi masalah ini. Bagaimana agar anak-muda itu tetap bisa pacaran dan kemudian menikah dengan segala keterbatasan waktu mereka.
Akhirnya, menjelang malam solusinya disepakati. Benar-benar hebat. Solusi yang dahsyat. Soal penemuan canggih  dan membuat geleng-kepala kota kami memang tak terkalahkan. Tetua kota mengumumkan akan mengembangkan software yang akan dinamai: Love ver 7.0. Seluruh penduduk kota yang sepanjang hari takjim menyimak perdebatan di balai kota ramai bertepuk-tangan. Menakjubkan! Sungguh solusi yang praktis, efisien, dan khas kota kami yang ultra-modern.
Apa itu Love ver 7.0? Ah, aku juga tidak tahu persis seperti apa (sama waktu aku dulu bingung menjelaskan apa itu Cintanometer!), tapi untuk lebih mudah memahaminya kalian bayangkan sajasoftware games. Kalian pasti pernah memainkan salah-satu game komputer, bukan? Seperti Warcraft, Grand Theft Auto, The Sims, Winning Eleven, NBA, Championship Manager, atau yang paling simpel seperti Tetris, Minesweeper, Solitaire, Pinball, dan games kartu semacamnyalah. Nah, seperti itulah Love ver 7.0.
Bedanya, software ini amat powerfull. Super-canggih. Sempurna sudah menjadi foto-copy kehidupan dunia nyata anak-muda di kota kami. Cara kerjanya? Begini, pertama-tama dibuatlah server raksasa di tengah kota, lantas setiap komputer yang dimiliki anak-muda kota kami dihubungkan ke server tersebut. Mereka akan memasukkan data pribadi ke dalam permainan. Lengkap. Mulai dari bentuk fisik, seperti jumlah rambut alis mata, jumlah rambut di betis, ukuran (maaf) tubuh tertentu, dan tentu saja termasuk urusan tinggi, berat badan, dan warna kulit. Malah data fisik pribadi itu termasuk DNA, tipe kromosom, siklus hormonal, kadar pheromon, getar arus listrik, dan ampun aku sungguh tidak mengerti lagi. Pokoknya semua data fisik mereka.
Selain itu dimasukkan juga data non-fisik mereka. Seperti tipe cewek atau cowok yang mereka idamkan, karakter psikilogis, tingkat kecerdasan, preferensi, bahkan juga termasuk tingkat kecemasan, keragu-raguan, agresivitas dan sebagainya. Seluruh informasi ini langsung di-foto-copy dari otak dan seluruh tubuh yang menyimpan data tersebut, jadi mustahil keliru, dan selalu di-update setiap hari secara otomatis.
Nah, setelah semua data anak-muda di kota kami telah di upload ke dalam sistem Love ver 7.0 maka dimulailah games hebat tersebut. Anak-muda itu tidak perlu memainkannya, tidak perlu menekan tombol mouse atau menggerakkan stick. Tidak perlu ada di depan komputer masing-masing. Semua itu tidak perlu. Apa yang kubilang tadi? Love ver 7.0 sempurna foto-copy kehidupan anak-muda kota kami. Jadi karakter-karakter dalam games itulah yang bermain. Karakter-karakter itu sempurna seperti menjalani kehidupan yang sama dengan yang aslinya, tetapi terjadi di dunia maya. Di dalam komputer. Mirip benar dengan apa yang terjadi paralel di dunia nyata. Tugas karakter foto-copy di Love ver 7.0 hanya satu, mencari jodoh!
Wow, maka kalau kalian berkesempatan berkunjung ke pusat server Love ver 7.0 di kota kami, maka kalian akan melihat tadi pagi ManoWolvie yang sedang menggoda Laila di perempatan jalan utama. Atau Filean yang sedang malu-malu mengirimkan surat cinta ke Jesheila di depan balai kota. Kalian sempurna bisa menonton seluruh adegan romantis tersebut. Yang tentu saja ManoWolvie, Laila, Filean atau Jesheila yang asli sedang sibuk dengan pekerjaan masing-masing di kantor. Malah boleh jadi yang aslinya sedang bertengkar karena urusan bisnis dan pekerjaan.
Di malam hari, anak-muda kota kami bisa melihat progress pacaran mereka di dalam komputer masing-masing. Bukan main, mereka bisa melihat kisah percintaan mereka hari ini sambil ngemil sekantong kentang goreng. Karena karakter dalam games tersebut sempurna ter-foto-copy, maka seluruh adegan romantis dalam Love ver 7.0 benar adanya. Itulah yang akan terjadi di dunia nyata kalau anak-muda kami punya waktu melakukannya. Games itu bertindak 99,99% persis seperti kehidupan nyatanya. Tidak mungkin salah-lagi.
Maka sebulan setelah games tersebut dikeluarkan, angka pacaran di kota kami melesat berkali-kali lipat. Kehidupan romantisme penuh bunga indah dan kata memesona tumbuh bak jamur di musim hujan. Tidak di dunia nyata memang, tapi ada di dalam server Love ver 7.0. Peduli apa? Itu sama saja dengan di dunia nyata. Itulah gunanya teknologi.
Saat anak-muda kota kami merasa progress percintaan mereka di games tersebut sudah di level 9. Ah-ya Love ver 7.0 juga disertai data statistik yang menunjukkan seberapa dekat tingkat keintiman mereka, kalau sudah di level 9 itu berarti level tertinggi, dan mereka bisa memutuskan untuk bertatap muka langsung dengan pasangan virtual masing-masing. Saat itulah, progress hubungan berkembang dan diambil-alih oleh karakter dunia nyatanya.
Seperti hari ini, ManoWolvie bertemu dengan Laila di Kafe Z di dekat perempatan utama kota.
“Kau hari ini cantik sekali,” Mano tersenyum memuji.
“Ah, bukankah kau sudah berkali-kali mengatakan itu?” Laila tersipu malu. Menatap Mano dengan mesra.
Bukankah mereka baru pertama kali ini bertemu? Bagaimana mungkin Laila bilang Mano sudah berkali-kali mengatakan itu? Ya, di dalam Love ver 7.0, yang mereka tonton selepas pulang kerja. Di sana percintaan Mano-Laila romantis benar. Penuh kejadian mengesankan. Tetapi kalau mengatakan kalimat itu secara langsung, Mano baru hari ini melakukannya.
Maka ManoWolvie-Laila akan mengenang bersama hari-hari yang mereka lalui dulu, tertawa bahak membicarakan Mano yang memerah mukanya saat bilang cinta enam bulan silam, Laila yang terjatuh di danau kota saat bercengkerama, Mano yang menumpahkan jus-jeruk di kencan mereka yang kesekian, dan seterusnya, dan seterusnya. Benar-benar seperti nyata, benar-benar seperti mereka melalui sendiri kejadian tersebut.
Lantas pembicaraan tatap-muka pacaran level 9 itu akan di akhiri dengan kalimat hebat, “Maukah kau menikahiku?” dari Mano yang sekarang berlutut menyerahkan cincin permata ke Laila penuh pengharapan.
Laila tersipu malu, mukanya memerah, kemudian mengangguk pelan. Ah, mereka sudah pacaran lebih dari enam bulan. Level mereka sudah 9, jadi sudah saatnya menikah. Melanjutkan ke level 10. Mano sungguh pilihan yang sempurna. Komputer bilang begitu. Tingkat kesesuaian mereka 99,99%. Jodoh sejati. Bayangkan dalam sekejap mereka langsung jatuh-cinta (pada pandangan pertama dalamsoftware hebat tersebut). Mereka juga sudah pacaran dengan mesranya selama ini. Maka Laila malu-malu menjulurkan tangannya. Mano memasangkan cincin permata.
Mereka resmi bertunangan.
Bukan main. Hebat! Tetua kota kami ramai bersulang setahun kemudian. Pesta besar digelar di balai kota. Love ver 7.0 sukses luar-biasa. Cintanometer? Lupakan alat primitif itu! Sekarang mereka memasuki era baru, ketika ada dua dunia yang berjalan secara paralel sekaligus. Kehidupan nyata yang sibuk, dengan kehidupan indah di dalam sistem komputer. Mereka bisa memadukannya dengan baik. Benar-benar temuan yang meningkatkan produktivitas kerja. Buat apa lagi pacaran secara fisik jika Love ver 7.0 bisa melakukannya berkali-kali lebih baik. Toh, tingkat kegagalan pernikahan setelah melalui pacaran di dalam sistem hanya 0,001% saja?
Ditambah bonus, semua data pacaran mereka tersimpan rapi di komputer pribadi masing-masing. Mana ada coba orang yang pacaran di dunia memiliki rekaman komplit seluruh waktu kebersamaan indah mereka? Ah, masalah krisis kependudukan kota kami dengan cepat segera terselesaikan.
Beres! Bukan main.

***

Celaka, berbeda halnya dengan Cintanometer yang tidak bisa dijahili, dirusak, atau bahasa kerennya di-hack. Software Love ver 7.0 ternyata dengan mudah bisa dimodifikasi oleh hacker-hacker jahil kota kami.
Awalnya mereka hanyalah pemuda-pemuda yang sejak Cintanometer dulu keluar tetap tak-kunjung jua mendapatkan jodoh. Cintanometer mereka dulu tidak berkedip sekalipun. Nah, sekarang saat Love ver 7.0 launching, karakter maya mereka di dalam komputer tetap tidak mendapatkan jodoh. Aduh, semakin keki-lah mereka. Siapa pula coba yang hanya bisa menonton kosong, menatap cemburu adegan cinta seluruh anak-muda kota kami yang sungguh romantis? Sedangkan dia sendiri, baik di dunia nyata maupun maya tetap tak laku-laku jua. Aduh, kasihan sekali melihat mereka!
Maka gerombolan anak-muda yang tidak kunjung laku itu mulai mengirimkan virus untuk meng-hacksistem Love ver 7.0. Mereka diam-diam mulai mengembangkan modifikasi canggih, mengotak-atik server raksasa kota. Dua tahun berlalu, dan celakanya mereka berhasil. Benar-benar berhasil menembus sistem sekuriti Love ver 7.0. Apa yang terjadi kemudian? Sungguh tidak ada yang pernah bisa membayangkan Gerrard yang jelek jerawatan bisa pacaran dengan Jasmine, kembang kota kami yang super cantik itu.
Apa daya Jasmine? Sistem itu bilang kalau ia harus pacaran dengan Gerrard, kan? Kesalahannya hanya 0,001%, kan? Maka terjadilah kekacauan di seluruh kota. Benar-benar semuanya terbolak-balik. Karena hacker kota kami amat jahilnya juga merubah data pribadi pesaing-pesaing cintanya selama ini. Menguranginya, menjelek-jelekkannya. Lantas menambah data pribadi miliknya sendiri. Benar-benar tidak lucu lagi kehidupan paralel dunia-maya kota kami tersebut enam bulan kemudian.
Beruntung sebelum Gerrard dan Jasmine tiba di level 9, yang artinya mereka harus bertemu secara fisik dan menikah, tetua kota berhasil menemukan anti-virus super. Yang dengan cepat memberangus habis, wormbrontoktrojan, malware, parasite, dan apalah namanya itu. Aduh, betapa sakit hatinya Gerrard saat sistem itu di-install ulang. Saat malamnya dia sibuk menunggu dengan hati berdebar-debar apakah kisah-cinta dunia maya-nya sudah level 9, ternyata karakter dirinya kembali ke data aslinya. Jelek-jerawatan, cowok yang nggak pernah laku-laku. Hiks!
Meranalah nasib Gerrard dan hacker lainnya. Tapi siapa yang peduli dengan mereka? Anak-muda dan tetua kota lebih peduli memperhatikan percintaan hebat di dalam games yang bahkan ditambahkan banyak fitur baru tersebut. Maka selepas serangan hacker atas Love ver 7.0 tersebut, gamestersebut bisa dibilang sempurna. Masih ada memang satu-dua upaya cheating, satu-dua yang mencoba mematikan genset server, satu-dua yang mencoba merusak hard-disk data, tapi sisanya oke.Perfect, malah!
Penemu kota kami belakangan juga meluncurkan alat-kendali versi mini. Persis seperti iPOD atau HP dijaman batu kalian. Dengan alat itu, anak muda kota kami tidak perlu lagi membuka komputer saat pulang kerja, mereka bisa menyimak langsung nasib percintaan dunia-maya mereka kapan saja, di mana saja, dan sedang ngapain aja. Alat itu portable dan trendi. Ditambah fitur upload data terkini dari mereka. Sekarang, Love ver 7.0 sempurna sudah.
Jadi bisa segera dimaklumi ketika seluruh penduduk kota mengusulkan: Love ver 7.0 harus dinobatkan sebagai 100 Years of Great Discovery! Menggantikan alat-cinta Cintanometer yang sudah basi itu. Ini baru sesungguhnya penemuan canggih!

***

Tetapi tahukah kalian? Saat Love ver 7.0 diluncurkan dua tahun silam, salah satu tetua kota kami yang dari dulu terkenal bijak dan berhati-hati atas segala penemuan, dengan suara lemah putus asa berbicara, “Kita tidak seharusnya menemukan alat ini, tidak seharusnya….” Mencoba menarik perhatian tetua lainnya yang sibuk berdebat.
“Tidak seperti cintanometer dulu, alat ini akan membawa kita memasuki jaman yang benar-benar ganjil! Cinta urusan langit, jadi bagaimana mungkin kita sekarang seperti Tuhan? Membuatkan skenarionya? Membuatkan kisah-cintanya? Tidak peduli sehebat dan senyata apapun skenario tersebut!”
Tetapi siapa yang peduli dengan tetua kota itu? Tidak ada. Apalagi setelah tahun demi tahun berlalu. Games itu terbukti efektif menyelesaikan masalah tidak ada waktu untuk pacaran bagi anak-muda tersebut. Games itu jawaban yang hebat. Hei, ingat, dulu juga tetua ini ribut soal Cintanometer. Omong-kosong, kecemasannya berlebihan. Tidak ada bahayanya teknologi tersebut.
Sayang, ternyata tetua kota itu benar!
Hanya soal waktu ketika akhirnya masalah tidak punya waktu tersebut berkembang menjadi sesuatu yang lebih serius. Bertahun-tahun berlalu, hari ini, anak muda kota kami bukan soal pacaran saja tidak punya waktu, mereka ternyata juga tidak punya waktu untuk menikah. Mereka benar-benar sibuk. Amat keterlaluan sibuknya. Bekerja 70-80 jam per minggu. Malam pun mereka kerja. Dibekukan oleh janji dunia. Janji karir dan kehormatan materi. Jadi meski Love ver 7.0 mengambil-alih kehidupan cinta mereka, meski sudah berbulan-bulan hubungan cinta itu menyentuh level 9, mereka malaaas sekali untuk bertemu secara fisik dan melanjutkan hubungan ke level berikutnya, gerbang pernikahan.
Buat apa? Mereka lebih mementingkan pekerjaan. Berkeluarga hanya menghabiskan waktu. Tidak terbayangkan harus jam sekian sudah tiba di rumah, memeluk istri, mencium keningnya, besoknya harus bangun pagi bersama, menyiapkan sarapan, bicara satu-sama lain penuh basa-basi, harus berlibur bersama, dan seterusnya, dan seterusnya…. Aduh, mereka tidak punya waktu untuk melakukan itu semua. Sungguh semua itu tidak produktif.
Maka tetua kota kami kembali rusuh bersidang. Sibuk berdebat. Sibuk mengacungkan tangan untuk menjelaskan solusi yang diusulkan. Benar-benar tidak ada yang memperhatikan tetua kota kami yang sedari dulu sudah prihatin. Tidak ada. Semua ini harus dipecahkan dengan teknologi yang lebih hebat. Menjelang malam, solusi yang disepakati akhirnya ditemukan. Benar-benar luar-biasa.
Apa yang akan dilakukan tetua kota kami? Mereka akan mengembangkan software tambahan. Games lanjutan dari Love ver 7.0 tersebut. Sistem yang jauh lebih sophisticated, yang akan memasukkan seluruh varian dalam kehidupan nyata. Yang akan menyelesaikan masalah level 9 yang tidak pernah berlanjut di dunia nyata tersebut. Software tambahan itu disebut dengan Married ver 9.0.
Wah! Wah! Wah! Seperti apa bentuknya? Ramai penduduk kota bertanya. Dengan wajah antusias.  Aku sekali lagi bingung menjelaskannya kepada kalian. Pokoknya, persis seperti Love ver 7.0. Bedanya sekarang anak-muda kami memiliki fitur untuk melakukan pernikahan virtual di dalam sistem tersebut. Lengkap dengan ruangan resepsinya. Pengiring pengantin. Live music. Akomodasi. Bulan madu. Bahkan doa-doa spesial yang bisa di-setting sesuai aslinya di dunia nyata. Wow!
Lihatlah foto di meja Esterina, itu foto pernikahannya di Barbados dua minggu lalu. Benar-benar pesta pernikahan yang mewah dan ramai. Seluruh kota hadir. Padahal persis di jam yang sama pernikahan tersebut dilangsungkan, Esterina sedang sibuk berdiskusi tentang sistem perbankan kota di kantornya.
Lihatlah! Bahagia sekali pernikahan Esterina dengan Gading enam bulan terakhir! Mereka mesra saling memeluk sebelum berangkat kerja. Bercengkerama setiap malam. Saling menelepon setiap satu jam. Berlibur ke Swan Lake setiap dua bulan. Memiliki rumah kecil yang indah. Benar-benar pasangan yang hebat. Meski semua itu hanya ada di dunia maya-nya.
Di dunia nyata? Esterina dan Gading bahkan serumah pun tidak. Tapi peduli apa? Itu benar-benar akan terjadi kalau mereka punya waktu untuk melakukannya. Sistem komputer itu sungguh foto-copy yang sempurna. Sama sajalah apakah karakter dalam Married ver 9.0 atau mereka di dunia nyata yang melakukannya.
Anak? Kota kami sudah mengembangkan sistem bayi tabung sejak dua ratus tahun silam. Itu bukan masalah besar. Bahkan Esterina tidak perlu mengandung secara langsung, bisa dititipkan dalam sistem medis hebat kota kami. Sepanjang ia dan Gading memutuskan punya anak, maka Rumah-Sakit kota yang seperti pabrik bersiap menerima pembuahan tidak langsung tersebut.
Tetua kota bersulang riang di balai kota. Ini benar-benar masa keemasan penemu di kota kami. Semua anak-muda akhirnya sempat pacaran, sempat menikah meski dengan segala kesibukan yang mereka miliki. Anak-anak kecil banyak dilahirkan, dibesarkan oleh sistem adopsi teknologi yang hebat. Krisis kependudukan itu benar-benar sudah lewat.
Lupakan saja soal kosa-kata cinta yang sejak Cintanometer ditemukan dulu sudah dihapus dari kamus. Lupakan itu semua. Bahkan mereka sudah melupakan bagaimana sensasi membelai lembut pipi pasangan mereka, menatap mesra wajah pasangan mereka, mencium keningnya.
Mereka sempurna lupa bagaimana sesungguhnya proses percintaan tersebut? Bagaimana rasanya kebersamaan di Taman Kota, kebersamaan di Danau Kota. Mereka hanya menonton seluruh adegan itu sekarang! Menyimak, tanpa pernah terlibat melakukannya. Mereka benar-benar kehilangan sensasi menunggu sang belahan-hati, rasa cemas menanti jawaban sang pujaan, tersipu malu atas pujian, resah atas kalimat yang salah ucap, antusiasme menatap wajahnya, merasa terlindungi bersandar di bahu bidangnya, dan entahlah.
Mereka sudah lupa!
Apalagi kalau ditanya soal sakit-hati? Bagaimana rasanya ditolak? Bagaimana rasanya ditinggalkan begitu saja? Lupa! Lagipula itu semua tidak penting. Kalau ada yang bertanya apa itu pacaran, tinggal jalankan sistem Love ver 7.0. Kalau ada yang bertanya soal bagaimana rasanya menikah, tinggal jalankan sistem Married ver 9.0. Semuanya lengkap ada di sana. Kalian bahkan bisa menyimak seluruh prosesnya.
Maka aku benar-benar muak saat untuk kedua kalinya berkunjung ke kota itu seminggu lalu. Kali ini aku benar-benar termangu di tengah pesta yang diadakan oleh tetua di balai kota. Aku menjulurkan tangan, “Namaku Jun, pemuda dari negeri seberang, ingin mencari pacar seorang gadis yang baik hati dan cantik. Adakah gadis seperti itu di sini?” Mereka memandangku laksana melihat mahkluk dari planet terbodoh yang pernah ada.
Ya ampun, dengan hati bingung aku memutuskan pulang. Sungguh, aku lebih baik patah-hati seribu kali, tersakiti berjuta-juta kali, merana bermilyar-milyar kali karena keabadian jombloku dari pada harus menjalani kehidupan cinta seperti mereka. Rasa sakit hati itu indah. Setidaknya patah-hati memberikan sensasi bahwa kita memang masih hidup. Lagipula siapa bilang ditolak cinta itu tidak indah?
Itu indah, Bung! Pikirkanlah dari sudut yang berbeda!

***

Jumat, 09 September 2011

Mimpi Mimpi Si Patah Hati (cerita 12 buku langka tereliye)


KUTUKAN KECANTIKAN MISS X 2

 Januari
Musim penghujan, sejak semalam gerimis membungkus kota. Pagi yang dingin. Aku berlari-lari kecil, mengembangkan payung putih. Menuju halte depan kost-an. Hari kerja pertama tahun ini. Sekaligus Senin pertama tahun ini. Langit kota terlihat muram, awan kecoklatan menggantung. Aku berbisik pelan, semoga hari ini tidak berjalan menyebalkan.

Bus Patas AC nomor 102 terlihat dari kejauhan. Kondekturnya melambai-lambai berteriak menyebut tujuan. Aku berdiri. Mobil merapat. Naik. Inilah bus yang kugunakan setiap hari berangkat kerja. Sudah hampir empat tahun. Dengan jadwal yang sama. Bus yang sama. Sopir yang sama. Meski penumpangnya berbeda-beda.

Dan inilah awal segala kisah menyedihkan ini….

Pagi itu, se-isi bus terlihat muram. Mungkin setelah libur akhir tahun yang menyenangkan, kembali bekerja bukanlah hal yang bisa membangkitkan antusiasme. Aku tersenyum ke beberapa penumpang yang kukenali. Wajah-wajah masih mengantuk. Hingga, hei! Di kursi tempatku biasa duduk, baris ke enam dari depan, dekat jendela sebelah kanan. Sudah duduk dengan manisnya seorang gadis. Oh-Ibu! Aku menelan ludah. Sungguh selalu membuatku terpesona.

Aku berdehem pelan. Gadis itu mengangkat kepalanya, “Kursi di sebelahnya kosong?” Pertanyaan basa-basi.

Gadis itu mengangguk.

“Boleh aku duduk?”

Gadis itu mengangguk lagi.

Percaya atau tidak, itulah percakapan terlama yang pernah aku lakukan dengannya selama tiga bulan berlalu. Sisanya? Aku hanya duduk diam membeku. Hanya melirik-lirik. Hanya bergumam tak jelas. Hanya sibuk meneguhkan hati untuk mengajaknya bicara. Sementara gadis itu takjim melihat keluar jendela kaca. Menatap jalanan yang mulai ramai.

***

April
Bulan ini, penghujung musim hujan, sejak semalam gerimis membungkus kota. Pagi yang dingin. Aku berlari-lari kecil, mengembangkan payung putih. Menuju halte depan kostan. Hari kerja pertama bulan ini. Sekaligus Senin pertama bulan ini. Langit kota terlihat muram, awan kecoklatan menggantung. Aku berbisik pelan, semoga hari ini tidak berjalan menyebalkan.

Bus Patas AC nomor 102 terlihat dari kejauhan. Kondekturnya melambai-lambai berteriak menyebut tujuan. Aku berdiri. Mobil merapat. Naik. Inilah bus yang kugunakan setiap hari berangkat kerja. Sudah empat tahun tiga bulan. Dengan jadwal yang sama. Bus yang sama. Sopir yang sama. Dan tentu saja ada satu penumpangnya yang selalu sama. Gadis itu. Duduk anggun di kursi baris ke enam, dekat jendela sebelah kanan. Dan aku yang duduk di sebelahnya setelah bersitatap sejenak satu sama lain.

Sempurna tiga bulan berlalu, dan kami tidak pernah berbincang-bincang. Buat apa? Lirikan mata kami sudah bicara banyak bukan? Ya Tuhan, dusta sekali pernyataan ini. Baiklah, terus-terang saja kuakui, aku tidak berani mengajaknya bicara. Terlalu gugup. Terlalu cemas. Mulutku selalu kelu saat hendak dibuka. Dan kerongkonganku seperti tersumpal.

Jadi apa yang harus kulakukan? Hanya duduk salah-tingkah. Sibuk membujuk hati untuk memulai. Sibuk membujuk…. Sisanya tidak ada. Tetap sepi. Sepi yang sedikit terpotong oleh kondektur yang mengambil ongkos, oleh pengamen yang bernyanyi serak, oleh lalu-lalang penumpang.

Gadis itu masih takjim menatap keluar jendela kaca.

  ***

Juli
Bulan ini sudah masuk musim kemarau, tetapi sejak semalam gerimis membungkus kota. Pagi yang dingin. Aku berlari-lari kecil, mengembangkan payung putih. Menuju halte depan kostan. Hari kerja pertama bulan ini. Sekaligus Senin pertama bulan ini. Langit kota terlihat muram, awan kecoklatan menggantung. Aku berbisik pelan, semoga hari ini tidak berjalan menyebalkan.

Bus Patas AC nomor 102 terlihat dari kejauhan. Kondekturnya melambai-lambai berteriak menyebut tujuan. Aku berdiri. Mobil merapat. Naik. Inilah bus yang kugunakan setiap hari berangkat kerja. Sudah empat tahun enam bulan. Dengan jadwal yang sama. Bus yang sama. Sopir yang sama. Meski penumpangnya mulai berbeda-beda.

Gadis itu masih di sana. Selalu naik bus yang sama kugunakan berangkat kerja. Selalu duduk anggun di baris ke enam dari depan, dekat jendela sebelah kanan. Dan aku duduk di sebelahnya.

Namanya? Enam bulan berlalu aku sempurna belum tahu. Bagaimanalah akan tahu kalau aku tidak pernah berani menanyakannya. Yang aku tahu rambutnya hitam legam sebahu, lesung pipit menghias indah wajah sempurnanya. Matanya hijau (sehijau hatiku saat meliriknya). Ia selalu mengenakanblouse kerja warna cokelat setiap Senin. Dipadu dengan rok selutut dengan warna yang sama. Hari Selasa ia memakai baju berwarna biru. Hari Rabu berwarna hijau. Hari Kamis berwarna krem. Hari Jum’at berwarna putih.

Ia turun di gedung itu. Empat halte lebih jauh dari gedung tempatku bekerja. Karena aku sejak awal tahun memaksakan diri tidak turun  sebelum ia turun, maka itu berarti sudah enam bulan aku terpaksa menyeberang, naik bus lainnya, berbalik arah, kembali ke gedung kantorku.

  ***

September
Bulan ini, kembali musim penghujan, sejak semalam gerimis membungkus kota. Pagi yang dingin. Aku berlari-lari kecil, mengembangkan payung putih. Menuju halte depan kostan. Hari kerja pertama bulan ini. Sekaligus Senin pertama bulan ini. Langit kota terlihat muram, awan kecoklatan menggantung. Aku berbisik pelan, semoga hari ini tidak berjalan menyebalkan.

Bus Patas AC nomor 102 terlihat dari kejauhan. Kondekturnya melambai-lambai berteriak menyebut tujuan. Aku berdiri. Mobil merapat. Naik. Inilah bus yang kugunakan setiap hari berangkat kerja. Sudah empat tahun delapan bulan. Dengan jadwal yang sama. Bus yang sama. Sopir yang sama. Meski penumpangnya berbeda-beda.

Gadis itu masih di sana. Selalu naik bus yang sama kugunakan berangkat kerja. Selalu duduk anggun di baris ke enam, dekat jendela sebelah kanan. Dan aku duduk di sebelahnya. Delapan bulan sempurna berlalu.

Aku mulai menyumpah-nyumpah betapa pengecutnya diriku. Betapa pecundangnya kehidupan cintaku. Entahlah. Aku mendesis lemah. Bagaimana mungkin akan seperti ini? Bukankah selama ini mudah saja aku bergaul dengan gadis-gadis lain. Berkenalan. Berbincang sambil tertawa riang. Mudah saja. Tidak ada masalah. Tapi yang satu ini. Aku sempurna membeku. Aku sungguh tidak mengerti….

Hari itu ia tidak mengenakan blouse kerja cokelat seperti biasanya. Tapi berwarna merah marun. Bukankah itu ide yang baik? Memulai pembicaraan dari sana.

Oh-Ibu, tolonglah aku…. Aku mendesis.

Setengah jam berlalu, bus patas AC nomor 102 terus merayap di jalanan padat. Aku berdehem. Gadis itu menoleh.

“Kau tidak mengenakan gaun cokelat?”

Ia sedikit bingung menatapku.

“Ergh, bukankah kalau hari Senin kau selalu mengenakan gaun cokelat? Hari Selasa berwarna biru. Hari Rabu berwarna hijau. Hari Kamis berwarna krem. Hari Jum’at berwarna putih….” Aku mulai semaput menerima tatapan matanya.

“Bagaimana kau tahu?” Gadis itu tertawa.

“Tahu apa?” Aku yang sekarang menjadi bingung.

“Warna pakaian kerjaku? Kau memperhatikanku?”

Entahlah seperti apa warna wajahku pagi itu. Malu. Benar-benar malu dengan kalimat barusan. Mungkin gabungan warna cokelat, biru, hijau, krem dan putih…. Gadis itu tertawa kecil sekali lagi. Tersenyum amat manisnya.

“Terima-kasih kau sudah amat perhatian….”

Itulah pembicaraan kami hingga tiga bulan ke depan. Aku terlanjur gugup untuk bicara lagi esok-esok harinya. Jadi semuanya kembali ke awal. Hanya lirikan mata. Tersenyum tanggung. Dan gadis itu kembali takjim menatap keluar jendela, jalanan yang mulai ramai.

***

Desember
Musim penghujan, sejak semalam gerimis membungkus kota. Pagi yang dingin. Aku berlari-lari kecil, mengembangkan payung putih. Menuju halte depan kostan. Hari kerja terakhir tahun ini. Sekaligus Jum’at terakhir tahun ini. Langit kota terlihat muram, awan kecoklatan menggantung. Aku berbisik pelan, semoga hari ini tidak berjalan menyebalkan.

Bus Patas AC nomor 102 terlihat dari kejauhan. Kondekturnya melambai-lambai berteriak menyebut tujuan. Aku berdiri. Mobil merapat. Naik. Inilah bus yang kugunakan setiap hari berangkat kerja. Sudah lima tahun. Dengan jadwal yang sama. Bus yang sama. Sopir yang sama. Meski penumpangnya berbeda-beda.

Gadis itu masih di sana. Selalu naik bus yang sama kugunakan berangkat kerja. Selalu duduk anggun di baris ke enam, dekat jendela sebelah kanan. Dan aku duduk di sebelahnya.

Setahun sempurna berlalu. Semalam aku sungguh berkutat dengan ide itu. Bagaimana mungkin setahun berlalu sia-sia? Bagaimana mungkin aku begitu pecundangnya? Maka aku memutuskan nekad hari ini. Apapun yang terjadi aku harus berhasil mengajaknya bicara, berkenalan…. Semalam aku sudah menyiapkan sepotong bunga mawar. Menyiapkan dialog hingga empat versi, tergantung seberapa gugup aku….

Tetapi pagi ini semuanya sungguh terlihat berbeda. Gadis itu tidak mengenakan baju kerja lazimnya. Ia memakai gaun berwarna putih. Di tangannya tergenggam sebuah kotak besar. Dengan hiasan pita. Wajahnya riang seperti semburat cahaya matahari pagi. Aku menelan ludah. Mendadak kehilangan seluruh keberanian yang ku-kumpulkan semalam, hei bukan hanya semalam tetapi selama setahun….

Maka kami seperti biasa membisu sepanjang perjalanan. Hanya lirikan. Tersenyum tanggung. Satu jam berlalu begitu saja, bus patas AC nomor 102 hampir mendekati tujuan gedung kantor gadis itu.

“Maukah kau membantuku?” Tiba-tiba gadis itu bicara, menyentuh lembut ujung kemeja lengan panjangku.

Aku gemetar. Menoleh. Ya Tuhan, ia mengajakku bicara? Apa aku tidak salah dengar?

“A-pa?”

“Kotak ini…. Maukah kau membantuku?” Gadis itu tersenyum, membuka kotak yang dipegangnya.

Sebuah kue indah terletak di dalamnya. Dengan bentuk sepotong hati yang memesona. Buah chery menghiasi atas kue tersebut. Berbaris rapi. Aku menelan ludah.

“Aku akan turun di halte depan…. Aku dari tadi malu untuk melakukannya, jadi maukah kau membantuku?”

“Mem-ban-tu a-pa?”

 “Tolong bagikan kue ini ke penumpang bus yang lain…. Besok pagi aku akan menikah…. Aku ingin berbagi kebahagiaan dengan sepotong kue chery ini dengan penumpang bus ini, yang setahun terakhir selalu bersama…. Maukah kau membantuku?”

Aku sudah membeku. Tidak lagi kuasa mendengarkan ujung kalimatnya. Mencengkeram erat bunga mawar di balik kemejaku. Aku sungguh amat terlambat.

***

Kamis, 08 September 2011

Foto ini sangatlah cool!

Foto ini sangatlah cool!

Mimpi Mimpi Si Patah Hati (cerita 11 buku langka tereliye)


Mimpi-Mimpi Si Patah Hati (Laila-Majnun)

Perkampungan itu dipenuhi oleh pepohonan hijau. Sejuk dan nyaman sebagaimana mestinya sebuah oase. Yang mengejutkan, sebuah danau kecil tepat berada di tengah-tengahnya. Sepagi ini sepasang bebek liar berbintik kelabu berenang bercengkerama dengan riang. Anakanaknya hilir mudik belajar menyelam di sela-sela kaki berselaput sang induk, melesat bagai lemparan sebongkah batu berwarna kuning.

Rumah-rumah berbentuk kotak berbahan lumpur berderet-deret mengitari danau, seperti manusia yang mengelilingi ka’bah saat tawaf di tanah suci. Modelnya hampir serupa, hanya jumlah pintu dan jendela yang membedakan rumah mana milik pedagang kaya dan rumah mana milik seorang tukang besi atau penjual kayu bakar. Tetapi rumah yang besar dan rumah yang kecil sedikit jumlahnya, lebih banyak yang sedang-sedang saja. Di gurun ini, tak ada yang peduli seberapa besar rumah kalian, apalagi ketika badai pasir datang menggulung.

Pohon kurma tumbuh subur, lempar bijinya dan biarkan kasih-sayang alam merekahkan kecambahnya. Sepagi ini di sudut oase, tiga kelopak daun muda dibuliri tetesan embun berkilauan, muncul dari tanah menjanjikan  bekal kehidupan berpuluh-puluh mulut penduduk oase hingga tiga generasi mendatang. Dan karena hampir setiap pintu rumah memiliki kebun kurma, walau sekedar tiga-lima batang, itu berarti tak akan ada yang kelaparan di sini.

Wanita-wanita berkerudung lalu lalang membawa pekerjaan. Setumpuk pakaian kotor, menuju sumur-sumur umum yang terdapat di setiap luas sekian hasta persegi pemukiman. Sekulak butiran gandum, menuju adonan dan pemanggangan roti masing-masing. Segerombolan anak dengan rambut masai dan pipi berbekas, diseret dan diomeli untuk dimandikan. Rempah-rempah dan daging kibas dijual oleh pendatang jauh di ramainya pasar. Para lelaki mulai sibuk dengan perniagaan. Penyekat toko satu persatu segera dilepaskan. Kehidupan sudah dimulai di perkampungan oase tersebut pagi ini.

Qais menjinjing keranjang di atas pundak hitam legam tangan kanannya. Lengan tangannya yang satu lagi berbebat kain, luka terjatuh dari pelepah pohon kemarin. Seumur-umur ia menjadi pemetik buah kurma, baru kali itu matanya tak awas, pikirannya tak tenang, dan tubuhnya lantas kehilangan keseimbangan, jatuh berdebam menghajar tunggul. Wahai, meskipun mengingat kejadian menyebalkan itu, Qais sebaliknya malah tersenyum, tidak meringis atau mengeluarkan sumpah serapah yang biasa kalian lakukan. Di pipinya sekarang muncul semburat merah, dan keindahan oase seketika tenggelam oleh cahaya bola matanya.

Ia bersenandung. Nyanyian kesenangan. Sungguh jika bisa kukata-katakan memandang pemuda yang tengah melalui gang-gang perkampungan itu, ia akan menjadi sajak-sajak indah. Mengalir merambati udara pagi, melambai mengetuk-ngetuk jendela. Membuat berbinar orang tua yang setengah terkantuk duduk menunggu anaknya pulang dari kejamnya peperangan. Membasuh jantung istri yang berwajah cemas menanti suami pulang dari perjalanan berbahaya. Atau sekadar menciprati seorang anak di balik pintu yang penuh harap berdiri menunggu ayahnya kembali dari pasar membawa gasing kesukaannya.

“dareda/ seekor kumbang terbang merindu – kembali/
sayapnya luka tertusuk durimu – waktu itu/
sayang/ sebelum sampai/
jatuh terpasung keenam kakinya/
dililit jala sang penguntai benang/
mati merana//

nanena/ bunga berubah menjadi buah/
ranum berjuntai mengundang cinta/
bahagia dia yang menyiram/
memetik tiba hingga masanya/
sayang/ sebelum sampai/
tersambar tajamnya kuku binatang malam/
mati jatuh/ busuk ditanah//

nahnehnah/ musim indah telah datang/
aroma wangi menyentuh langit-langit hidung/
menyebar dan melambai/
tak peduli kumbang atau pun buah/
lilin ini takkan pernah kubiarkan padam//”

***

“Jikalau pertemuan ini sebuah dosa, biarlah aku menanggungnya kelak,” Qais menatap lemah wajah Laila, kekasihnya.

“Tidak, kau tidak akan menanggungnya sendirian, aku akan bersamamu. Setapak demi setapak melewati semua hukuman,” Laila menjawab lirih memegang jubah kumal Qais. Kelopak matanya pelahan-lahan merekah, basah. Butiran air keluar sebutir, kemudian menggelinding di pipi siangnya.

Tepat bersamaan ketika butir air pertama jatuh menghujam pasir, di sela-sela kaki mereka yang bersembunyi di balik serumpun kaktus tajam, langit bergemuruh. Halilintar menyambar, awan hitam bergulung-gulung mendekati oase itu. Para pedagang yang terdengar hilir mudik di keramaian pasar dari balik pagar persembunyian mereka berteriak terkejut. Serabutan membungkus jualannya. Aneh sekali, hujan ini nampaknya datang begitu saja, apalagi di teriknya siang musim kemarau berkepanjangan saat ini.

“Aku mohon jangan menangis,” Qais menyapu air mata kekasihnya dengan sapu tangan, “Lihatlah, kau membuat langit ikut menangis .”

Mereka berdua tersenyum, kemudian tertawa pelan atas olok-olok itu. Wahai, padahal pagi itu enam bulan lalu langit juga menumpahkan hujan lebatnya saat Laila menangis tersedu di dalam kamarnya untuk perjodohan ia dengan pria lain pilihan orang tuanya. Wahai, malam itu sepuluh bulan yang lalu langit juga tak henti mengucurkan kandungan air di relungnya saat Laila menangis tersedu di pangkuan ibunya untuk kemarahan ayahnya dan larangan menemui pemuda pujaan hatinya. Keluarga mereka terlalu terhormat untuk merestui hubungan Qais dan Laila.

Cuaca tak pernah seaneh tahun ini, penduduk oase bergumam di pasar-pasar, di sumur-sumur, dan di ruangruang tamu mereka. Apa mau di kata, semakin hari Laila memang semakin sering menangis. Beruntung atau tidak, Qais hingga hari ini masih mampu menahan airmata dukanya. Sungguh, tak ada yang tahu olok-olok apa yang akan terjadi seandainya ia menangis dalam penderitaan cinta ini.

“Aku harus pulang, Qais.” Laila melepas genggaman tangan kekasihnya, “Lihatlah pakaianku sudah mulai basah. Mereka akan curiga dan bertanyatanya.”

“Duduklah sebentar, aku masih ingin berbincang denganmu.” Qais mengeluh dan merajuk. Lama sudah ia berusaha sembunyi-sembunyi bertemu dengan kekasihnya dengan segala resiko. Sepatah dua patah takkan cukup. Wahai, sepanjang tahun pun takkan cukup untuk membuka lembar demi lembar kerinduan miliknya. Duka Qais semenjak pagi itu dari sela-sela pelepah pohon kurma melihat kerudung Laila tersingkap disambar kencangnya angin gurun.

“Kita tak pantas Qais. Tak pantas berada di sini!”

“Kalau begitu larilah denganku….”

“Takkan mungkin kulakukan. Takkan mungkin.”

Laila menangis lagi. Hujan turun semakin menggila, dan mereka benar-benar basah. Apalah daya pohon kaktus menahan tumpahan air, daun pun ia tak punya, selain duri yang memedihkan kulit jika tertusuk. Dan Laila saat ini di jantungnya sudah tertusuk seribu duri kaktus.

“Lantas apa yang bisa kulakukan untuk memilikimu?” Qais menatap kekasihnya, merana.

“Aku…. Aku akan bebas jika ikatan ini diputuskan….”

Mata Qais berubah nyalang. Merah. “Baik. Kalau begitu akan kubunuh suamimu!”

“Demi Tuhan jangan lakukan itu. Aku mohon. Kita akan mempersulit keadaan.”

***

Apakah doa bisa membunuh? Entahlah, yang pasti jika iya, maka malang benar nasib suami Laila. Tidak. Ia tidak mati dibunuh Qais yang lara sendiri. Bagaimana bisa membunuh jika sepanjang hari Qais hanya bisa bersunyi terasing dalam goa itu. Binatang gurun, bintang gemintang, dan tunas-tunas muda rerumputan yang hanya menjadi temannya, jauh terpencil puluhan kilometer dari kehidupan oase dan Laila.

Lagipula Qais tak pernah dalam satu doanya pun, meminta kematian pemuda itu. Ia hanya selalu merintih memohon agar Laila suatu saat datang ke goa ini dan bersama-sama lari dari semua kekacauan harga diri dan kehormatan para tetua oase.

Pagi itu ketika Laila bangun dari tidurnya. Suami pilihan tetua keluarganya yang mau merendahkan diri selalu tidur di lantai tidak bergerak-gerak juga padahal cahaya matahari sudah menerobos jendela. Ia coba menyentuh dahi suaminya. Wahai, itulah pertama kalinya mereka bersentuhan, dan menjadi sentuhan yang terakhir pula bagi mereka.

Pemuda itu telah mati. Begitu saja. Meskipun malam-malam lalu dalam kesepiannya ia memang sering berpikir soal pergi jauh-jauh agar Laila bisa sedikit tersenyum dalam kehidupan. Perjodohan ini tak pernah membahagiakan hatinya. Terlebih saat tahu istrinya mengikat jantungnya pada pemuda lain, jauh sebelum ia datang mengacaukan segalanya. Wahai, sungguh muasal kekacauan ini bukan dari dirinya.

Mendengar burung-burung mengabarkan kejadian itu, Qais dengan gilanya lari menembus gurun menuju kekasihnya. Ia terus berlari, meskipun kakinya tak beralas apapun. Telapaknya mulai merekah dibakar panasnya pasir, kulitnya mulai robek disabit perdu-perdu berduri. Tetapi Qais tak peduli, ia terus berlari hingga sore datang menjelang, hingga malam tiba menghadirkan purnama.

Tengah malam, ia menerobos lewat pintu belakang. Sesuai kesepakatan mereka dulu, Laila sudah menunggu di balik serumpun kaktus itu. Tidak. Laila tidak tersenyum bahagia menyambut Qais, menangis pun juga tidak. Ia hanya menatap kosong. Benar-benar tatapan kosong. Qais yang hendak buncah menyebut rencanarencana, seluruh perasaan kebahagiaan di hatinya, mimpi-mimpinya, wahai, demi melihat wajah kosong Laila, bibirnya sontak tersumpal oleh sesuatu yang ia takutkan selama ini.

Bagi Qais, boleh jadi kejadian ini akan menjadi awal sebuah kehidupan. Bagi Laila, wanita yang amat lelah dengan segala perjalanan cinta, telah habis sudah airmatanya, telah kering sudah perasaannya. Ia sesiang tadi juga berseru girang saat menyadari suaminya telah meninggal, tetapi kegembiraan itu dalam sekejap berubah menjadi antiklimaks. Kegembiraan yang menghabiskan seluruh energi yang dimilikinya, dan ia terlemparkan keras sekali dalam ketidakmengertian yang memangkas syarafsyaraf kewarasan.

Laila saat ini sedang mengais-ngais cinta yang selama ini menuntun hidupnya, sayangnya ia lupa. Laila saat ini sedang berusaha mengingat-ingat wajah pemuda idaman yang mengajaknya bertemu malam-malam di balik serumpun kaktus itu, sayang lukisan itu semakin buram. Ia berubah menjadi bangkai. Tanpa perasaan lagi, tanpa harapan lagi. Maka lihatlah, wahai, ia sekarang menatap kosong wajah Qais yang terperangah. Seolaholah di wajah Laila ada seribu pertanyaan, dan salah satu pertanyaan yang cukup sudah menebas jantung Qais.

“Siapa kamu?”

***

Tak ada lagi Qais yang berjalan di gang-gang pemukiman oase sambil menyenandungkan lagu rindu. Tak ada lagi pemuda hitam legam pagi-pagi menyampirkan keranjang di bahunya, berangkat untuk memetik buah kurma. Qais masih berlalu-lalang seperti biasanya, tetapi ia melangkah sambil meratap. Ratapan derita cinta.

Satu depa satu keluh kesah, satu sepelemparan batu satu lolongan pilu, satu sumur satu hati penduduk yang melihatnya hancur. Begitu saja sepanjang hari semenjak ia bertemu dengan Laila malam itu. Semenjak ia menyadari tak ada lagi kewarasan yang tersisa pada gadis yang dicintainya, dan Qais demi kekasihnya ikut menggilakan dirinya.

Wahai, menyedihkan sekali pemandangan ini. Tubuh kurus kering berjalan di atas pasir berdebu. Pakaiannya compang-camping, kotor dan robek. Badannya lebih bau dari seekor kibas jantan, daki hitam memenuhi lipatanlipatan tubuhnya. Pemuda itu berjalan bolak-balik seperti sedang melakukan ritual sa’i, dari bukit safa ke bukit marwa. Berulang-ulang, tak kenal siang atau pun malam.

Setiap kali ia tiba di rumah besar kekasihnya, Qais jatuh terduduk. Mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi, berseru memanggil-manggil Laila. Tetapi lihatlah, yang dipanggil justeru menatap kosong dari balik jendela, muka pucat pasi, dan tubuh yang juga amat mengenaskan. Sepanjang hari Laila hanya duduk di bawah bingkai jendela itu. Berharap kekasih hatinya datang, walaupun ia sama sekali lupa seperti apa paras kekasih pujaannya itu.

Setelah sekian lama mereka bertatapan dalam sebuah adegan kegilaan yang memilukan, Qais melanjutkan ritualnya. Berjalan ke sisi kota satunya. Tiba di sana, seperti biasa ia akan kembali lagi ke sisi kota satunya lagi. Berhenti di depan rumah besar Laila lagi. Jatuh terduduk lagi, dan berseru-seru memanggil Laila lagi. Meneruskan ritualnya lagi. Begitulah, sepanjang hari.

Hingga suatu pagi. Maut memutus penderitaan Laila. Seminggu sudah ia menolak menyentuh roti gandum, bibirnya kering tak terbasahi setetes air pun. Dan pagi itu, malaikat maut berbaik hati mengakhiri segala deritanya.

Pemukiman oase itu berkabung untuk kesekian kalinya.

Qais yang sedang berada di sisi kota, demi mendengar kabar itu berlari menerobos rumah-rumah penduduk. Menyenggol wanita-wanita berkerudung yang sedang membawa tumpukan pakaian kotor hendak pergi ke sumur, menabrak para pedagang yang menuju pasar, dan sama sekali tak mempedulikan sumpah serapah orang-orang yang terkena percikan ludah busuk mulutnya yang berbusa meratapi Laila.

Penjaga rumah menghunuskan pedang demi melihat Qais memaksa masuk ke halaman rumah Laila. Qais tak peduli. Ia menerjang bagai banteng yang terluka. Bibirnya mendesiskan nama sang kekasih, dan entah dari mana datangnya kekuatan itu, penjaga-penjaga buas pintu gerbang tersebut terpental menghantam hamparan pasir.

Orang-orang yang memadati rumah Laila panik melihat Qais menyerbu masuk.

Tetua keluarga besar Laila memerintahkan lebih banyak penjaga lagi untuk menahan Qais yang kesurupan berteriak-teriak. Sepuluh orang menerkam Qais, memiting dan membantingnya ke lantai tanah. Qais melolong panjang bagai serigala. Beringas sekali tubuhnya yang tinggal tulang belulang menepiskan mereka. Qais tidak peduli, dia terus berlari menerjang semakin ke dalam. Ia mendaki tangga bagai seekor elang, terbang menghempaskan semua penghalangnya. Dan ketika tiba di pintu kamar Laila, ia jatuh terduduk terhujam ke bumi menatap kekasih hatinya yang telentang begitu takzim di atas tempat tidurnya. Di selimuti oleh kain putih, wajah itu terlihat amat elok ditimpa cahaya matahari pagi yang menerobos kisi-kisi jendela.

Sebuah kematian yang indah.

Qais tergugu. Wahai, jika bisa kulukiskan saat pemuda itu pelahan-lahan mendekat dan menggendong mayat Laila, maka seluruh dunia akan jatuh dalam kesedihan melihatnya. Pemuda itu mencium kening kekasih hatinya. Matanya menyiratkan penderitaan yang menganak sungai. Ia melangkah keluar dari ruangan, menuruni anak tangga. Dan seluruh isi rumah seperti tersihir oleh sebuah tontonan yang memilukan.

Kesombongan dan harga diri yang telah mencabut kewarasan sepasang pencinta. Kekuasaan dan kebanggaan atas akal sehat yang telah membinasakan sepasang kekasih. Tak ada lagi ratapan dari mulut Qais, tak ada lagi lolongan kesedihan dari bibir Qais, dan memang belum pernah ada tangisan dari kelopak mata Qais.

Pemuda itu menaikkan mayat kekasihnya ke atas seekor onta. Lantas menggebahnya menjauhi rumah terkutuk itu. Menjauhi oase terkutuk itu.

Keluarga besar Laila setelah sekian lama Qais menghilang dari kelokan pintu gerbang tiba-tiba tersadarkan. Mereka panik saat menyadari mayat Laila telah dibawa lari oleh pemuda itu. Sungguh sebuah aib besar. Maka tanpa pikir panjang, tetua memutuskan mengirim seratus penunggang kuda Badui dengan pedang terhunus memburu Qais.

Debu mengepul mengiringi beringasnya para pengejar, sementara tubuh ringkih Qais terombang-ambing di atas ontanya. Ia memaksa secepat mungkin tiba di gua pengasingannya, menguburkan kekasihnya jauh dari segala penderitaan cinta ini. Ia akan duduk di pusara Laila hingga maut berbaik hati datang menjemputnya. Tidak. Ia tidak akan pernah memutuskan bunuh diri menyusul kekasihnya. Semua ini adalah takdir langit, maka biarlah ia berakhir sesuai aturan langit.

Tetapi tubuh lemahnya sudah kehabisan tenaga. Ketika tubuh Laila jatuh terpental dari punuk onta karena ia tak sanggup lagi memegangnya erat-erat, maka selesailah pelarian itu. Qais ikut menjatuhkan diri. Seratus penunggang kuda Badui dengan pedang terhunus semakin dekat. Matahari bersinar terik sekali.

Gemetar Qais merengkuh tubuh berdebu Laila. Memeluknya dalam sebuah tarian penderitaan tak tertahankan. Ia sudah tak kuat lagi. Pedang-pedang itu pasti akan mencabik-cabik membinasakannya. Dan mayat Laila akan dibawa pergi darinya. Dengan sisa-sisa tenaga, Qais mendongak mencari Tuhan.

Wahai, untuk pertama kali dan untuk terakhir kalinya Qais menangis. Wahai, air mata itu mengalir pelan membasahi pipi hitamnya.

“Ia membuat seorang raja menjadi hamba/
Saudagar kaya menjadi peminta-minta/
Panglima perang hina teraniaya//

Ia membuat malam terang benderang/
Terik matahari gelap tertutupi/
Angin tertahan berhenti bertiup/
Air tak mampu mengalir ke bawah//

Apalah artinya dirku?/
Raja bukan, saudagar tidak, panglima jauh/
Apalah harga diriku?/
Bulan bukan, matahari tidak, angin belum, air pun jauh//

Aku hanyalah pengembara cinta/
Tersesat dalam perjalanan menyedihkan ini/
Aku tak tahu lagi harus melangkah kemana/
Aku tak tahu lagi//

Kirimkanlah kereta penjemput terbaik-Mu/
Juntaikanlah tangga emas itu dari arsy-Mu//

Tiba di penghujung kalimat senandung memilukan itu, saat tetesan air mata darah pertama Qais jatuh berdebam membasahi pasir gurun, menguap menyisakan kepulan asap hitam-kelam, langit mendadak gelap-gulita bagai ada yang menutup tirai petunjukan. Angin tiba-tiba menderu laksana berjuta lebah sedang memenuhi udara. Di angkasa terdengar pekikan pilu, merindingkan segenap bulu kuduk... ays-syajwu!

Asap hitam-kelam dari tetes air mata Qais pelahan-lahan berubah membesar menjadi sebuah liukan badai mengerikan. Menyebar dengan cepat, bagai anak kecil yang tumbuh dewasa dalam hitungan detik.

Badai pasir itu membentuk dinding besar yang belum pernah dilihat manusia. Tingginya puluhan depa, lebarnya ribuan depa. Menderu mengeluarkan suara yang mengerikan. Dengan dahsyat tanpa ampun, seperti dilemparkan oleh tenaga raksasa badai gurun itu melesat menuju pemukiman oase. Melibas seratus penunggang kuda Badui bagai menepuk seekor lalat.

Langit semakin kelam. Debu berterbangan memedihkan mata. Dalam beberapa kejap berikutnya oase itu sudah tak bersisa lagi.

Sementara Qais jatuh tersungkur memeluk Laila.

Keduanya sudah tak bernyawa. Esok lusa, serumpun pohon bambu tumbuh dari jasad mereka. Prasasti cinta yang bertahan ribuan tahun.

***