Rabu, 14 Desember 2011

~maafkan aku kawan~

Suatu ketika ada dua orang sahabat karib sedang berjalan melintasi gurun pasir.Di tengah perjalanan, mereka bertengkar, dan salah seorang menampar temannya.Orang yang kena tampar, merasa sakit hati, tetapi dengan tanpa berkata-kata.Dia menulis di atas pasir :"Hari ini, sahabat terbaikku menampar pipiku."

Kemudian mereka terus berjalan, sampai menemukan sebuah oasis, di mana mereka memutuskan untuk mandi.Orang yang pipinya kena tampar dan terluka hatinya, mencoba berenang namun nyaris tenggelam, dan berhasil diselamatkan oleh sahabatnya.Ketika dia mulai siuman dan rasa takutnya sudah hilang, dia menulis di sebuah batu :"Hari ini, sahabat terbaikku menyelamatkan nyawaku."

Orang yang menampar dan menolong sahabatnya, bertanya, "Mengapa setelah saya melukai hatimu, kau menulisnya di atas pasir dan sekarang kamu menulisnya di batu ?"


Temannya tersenyum sambil menjawab, "Ketika seorang sahabat melukai kita, kita harus menulisnya di atas pasir agar angin maaf datang berhembus dan menghapus tulisan tersebut.Namun jika sesuatu yang luar biasa terjadi, kita harus memahatnya di atas batu hati kita, agar tidak bisa hilang tertiup angin."

 

Selasa, 13 Desember 2011

cinta senja ^ sebuah karya :')


Semburatnya masih tersisa di benakku. Bersimpuh hati ini mengingat kejadian lalu. Di bawah terik matahari dia ciptakan goresan kenangan sahdu, tak pernah ingkar janji atas kebaikan hidup yang di tawarkan sejak awal. Hingga aku harus selalu termanggu setiap sore di sini, menunggunya. Mungkin aku telah gila atasnya atau keranjingan kasih sayangnya. Namun sungguh hanya ini yang bisa aku lakukan di sela-sela tumpukan dokumen-dokumen kerjaku yang memusingkan. Untuknya, untukku, dan kedepannya adalah untuk kita.
            Sore hari, menunggu kapal berlabuh ke dermaga di balik bingkai kaca sebuah café. Bersama secangkir coklat panas. Menatap lurus pada matahari yang elok pelan-pelan tenggelam menutup hari. Berkali lipat indahnya dari lukisan mahal di pojok café ini. Sama-sama sunset, tapi indahnya bukan main yang asli. Tak pernah bosan aku ulangi ‘ritual senja’ ku ini, hingga pelayan café hapal denganku yang berpakaian serba putih dan selalu memesan secangkir coklat panas.
            Kesibukanku selalu aku singkirkan di senja hari, hingga maghrib menjelang aku tak akan bekerja dan tak akan beraktifitas selain memandang pantai. Menunggui kehadirannya. Membayangkan kenangan-kenangan lalu yang telah hinggap di hatiku yang tak bisa tercabut saking dalamnya. Aku tak pernah bisa membencinya, aku tak pernah bisa melupakannya karena memang aku tak pernah mencoba untuk melakukan hal-hal yang menurutku tidak berguna itu. Aku mempunyai satu hati untuk satu orang kekasih saja. Tidak lebih, tidak memberi bekas dan tidak akan menyakiti.
            Kursi ujung ke ujung telah aku duduki, setiap harinya bergeser maju satu langkah. Hingga nampak olehku semburat matahari yang unjuk kebolehan menyilaukan sinar orange-nya ke wajahku. Elok nian! Bersama cangkir coklat panas-ku yang ke-tiga puluh. Tak bosan mengingat janji kesetiaan. Pakaianku lambang kesucian, harapanku seputih keinginan romantis yang selama ini aku impikan, pandanganku kebahagiaan serta deritaku kesepian. Teringat segala hal yang menyedihkan, tapi hatiku selalu menerima dengan letupan ketegaran. Harus kah aku menunggu dan terus menunggu-nya?
            Terkadang setan menggelitikan ke-ingkar janjian dan manusia menghasut ke-kurang kerjaan, namun malaikat membela ku. Menghajar keingkaran, membunuh penghasutan dan memberiku ketenangan lain yang menjanjikan. Biar sudah penolongku Tuhan saja, malaikat hanya penghibur saja. Dunia setan, manusia dan malaikat hanya Tuhan yang tahu. Maka ku pasrahkan urusan ini pada-Nya. Tidak peduli setan memberi opsi indah, manusia mengejek, bahkan malaikat membela. Aku hanya ingin Tuhan kabulkan doaku. Detik-detik ini, secepatnya sebelum kesabaranku hilang bersama surutnya air laut dan sebelum benar-benar tenggelam bersama matahari senja.
            Bulan ke-dua penantian. September, saat musim hujan pada umumnya. Namun akhir-akhir ini yang umum menjadi tidak umum, sebaliknya yang tidak umum sudah biasa di umumkan. Sudah hampir punah benar rupanya dunia? Atau mungkin dunia telah capek berputar sehingga ingin berhenti sejenak menghirup nafas kemunafikan. Tak tahu di untung sudah pikiranku setiap senja! Melalang buana kemana-mana. Terkadang naik ke puncak langit tujuh, melihat-lihat indahnya surga kemudian terhembus angin dan turun ke bumi bersama hujan, menikmati desau oksigen murni dari pohon-pohon tinggi, menetes perlahan berbarengan dengan embun, terkatung-katung di atas sungai-hanyut ke laut, tenggelam di palung paling dalam, terperosok ke bagian inti bumi, melihat neraka dan ingin segera pergi beranjak. Mana boleh pikiranku jadi kurang ajar begini hanya gara-gara menunggu? Menunggu ketidakpastian yang semu, begitu kata setan mebisikiku. Meluangkan hari senja untuk sebuah hal sia-sia, begitu kata manusia di sekitarku. Memberi banyak waktu untuk ujian kesabaran yang baik, begitu juga kata malaikat membenahi kata setan dan manusia. Tapi Tuhan berkata apa? Aku belum tahu. Maka, akan ku cari tahu dengan ‘menunggu’.
            Sebuah kesibukan yang ku nikmati dengan kesadaran setengah, karena yang setengah itu entah pergi kemana. Menguap bersama gumpalan awan atau bahkan gosong di pusat inti bumi? Aku tak tahu. Yang ku tahu, sudah tidak utuh lagi sebab kekasihku tak kunjung datang. Akibatnya aku disini, diam menunggu. Sampai aku sudah duduk di kursi bagian terluar café. Ujung dari yang terujung di depan sendiri di temani secangkir coklat panas dan hembusan angin senja. Pandanganku beredar sejauh laut dapat aku pandang. Ramai sore ini meski gerimis datang malu-malu bersama semilir angin. Aku berteduh di atas payung besar milik café ini, namun gerimis tetap tertarik untuk mengguyurku sedikit-sedikit. Senyumku mengembang melihat ‘pasangan senja’ yang berjalan pelan beriringan ingin berteduh di dekat café lain yang berjejer di sepanjang pantai. Sang kakek memayungi nenek dengan jaket tebalnya, si nenek tersenyum dan mereka berlalu melanjutkan langkah.  Romantis, bikin iri 100%. Artinya aku sangat ingin sekali memiliki cinta hingga usia senja bersama satu orang kekasih yang ku nanti saat ini.
            Di dera keheningan pantai aku berjalan pulang. Setelah gerimis tadi ada hujan besar sebentar hingga pengunjung cepat-cepat berkemas segera pulang. Mungkin mereka masih takut dengan isu tsunami yang merebak di masyarakat, atau merasa sunset sudah tak menarik lagi karena tertutup awan hitam. Namun setelah hujan besar yang membuat pantai lenggang itu, gerimis mengakhiri setelah membuka tadi, sebentar kemudian langit cantik berhias pelangi. Pemandangan langka sejak dua bulan terakhir ini. Baru sekali ini aku menemuinya, sampai aku rela mematung berkhayal janji-janji masa depan dengannya, kekasih yang sudah lima tahun lalu pergi. Janji kepulangannya selalu ku nanti, harapan yang kita bangun menghantui mimpi-mimpi malamku, serta kesucian hati yang enggan berlabuh di hati lain. Pikiranku melayang-layang, mengudara, menyusuri mejikuhibiniu pelangi senja ini. Tiba-tiba rasa takut menyergapku, menusuk ku dari berbagai arah tanpa permisi. Seketika mataku berkaca-kaca. Tidak sesore ini aku biasa menunggunya di butiran pasir pantai. Entah firasat apa, aku ingin tetap berdiri di sini terus menunggunya. Kesetiaan ku mungkin tiada banding, tapi sebenarnya aku lemah tak berkutik akan kesedihan yang merajai hariku.
            Ku langkahkan kaki ku pelan, berjalan pulang. Memainkan pasir putih yang lembut di kakiku. Angin kencang berhembus, seakan mencoba menghilangkan kepiluan dari hatiku. Hatiku menangis, tapi air mataku tak dapat menetes. Ku dengar hembusan angin berdesing, tapi aku tak peduli. Kencangnya angin mungkin gara-gara semakin malam saja, begitu pikirku. Aku hanya tak tahu, saat itu kapal merapat ke dermaga melawan angin senja yang biasanya mengantar nelayan melempar sauh. Di batas dermaga tepat saat aku akan berbelok ke pintu keluar pantai.
            Seseorang laki-laki dewasa memanggilku, sedikit berteriak. “Bunga! Bunga! Bunga!!”. Naik beberapa oktaf panggilan itu aku baru dengar. Ya, karena aku terlalu asik dengan dunia ku sendiri itulah. Tengokan ku di sergap pelukan olehnya, erat sekali sampai aku merasa suhu panas tubuhnya menjalar di tubuhku. Firasatku buruk. Dekapannya seakan menahan airmata ku, aliran suhu badannya seperti menyabarkan hatiku, feeling ku benar-benar jelek. Seakan shoot kamera mengelilingiku, merekam ku dari sisi mana saja-sampai sudut terkecil sekalipun tak luput. Adegan itu habis karena hujan yang tiba-tiba deras bagai air bah. Sebenarnya aku ingin mematung saja di sini, menghayati setiap nafas kesedihan yang aku rasakan selama lima tahun terakhir, tapi laki-laki kekar itu menuntunku menyingkir di emperan sebuah café yang sudah tutup. Aku memandanginya, dia menyampaikan kesedihan itu sambil memandang hujan yang kian menderu.
            “Bunga, kekasihmu telah di panggil Sang Pemilik Hujan…” katanya pelan dengan intonasi di kuat-kuatkan. Tuhanku! Aku ambruk. Rasanya setan mengejek ku, manusia mencaci hal konyol tentang kesetiaanku, sedang malaikat menatap dengan rasa iba yang lebay. Tuhanku? Tuhanku telah menjawabnya hari ini lewat pamanku, lewat cuaca indah senja, lewat air mata yang bahkan aku tak bisa mendengarnya karena hujan yang menderu. Aku paham ini yang terbaik bagiku menurut-Nya. Karena dari awal aku sudah memasrahkan semua pada-Nya dengan usaha keras ku menjaga kesetiaan.
            Aku merasa, Tuhan beri aku sebuah senja indah sebagai saksi kesetiaan cintaku.

                                                *di dedikasikan untuk ‘pemilik hati’ agar tak menyiakan orang yang di sayangi selagi mampu, 4 April 2011. Zizy J

Senin, 12 Desember 2011

hargailah wanita :)

Ketika Tuhan menciptakan wanita, malaikat datang dan bertanya, 

“Mengapa begitu lama menciptakan wanita, Tuhan?” 

Tuhan menjawab, 
“Sudahkah engkau melihat setiap detail yang saya ciptakan untuk wanita?” Lihatlah dua tangannya mampu menjaga banyak anak pada saat bersamaan, punya pelukan yang dapat menyembuhkan sakit hati dan keterpurukan, dan semua itu hanya dengan dua tangan“. 
Malaikat menjawab dan takjub, 
“Hanya dengan dua tangan? tidak mungkin! 

Tuhan menjawab, 
“Tidakkah kau tahu, dia juga mampu menyembuhkan dirinya sendiri dan bisa bekerja 18 jam sehari“. 

Malaikat mendekat dan mengamati wanita tersebut dan bertanya 
“Tuhan, kenapa wanita terlihat begitu lelah dan rapuh seolah-olah terlalu banyak beban baginya?” 

Tuhan menjawab, 
“Itu tidak seperti yang kau bayangkan, itu adalah air mata.” 

“Untuk apa?“, tanya malaikat. 

Tuhan melanjutkan, 
“Air mata adalah salah satu cara dia mengekspresikan kegembiraan, kegalauan, cinta, kesepian, penderitaan, dan kebanggaan, serta wanita ini mempunyai kekuatan mempesona laki-laki, ini hanya beberapa kemampuan yang dimiliki wanita. Dia dapat mengatasi beban lebih dari laki-laki, dia mampu menyimpan kebahagiaan dan pendapatnya sendiri, dia mampu tersenyum saat hatinya menjerit, mampu menyanyi saat menangis, menangis saat terharu, bahkan tertawa saat ketakutan. Dia berkorban demi orang yang dicintainya, dia mampu berdiri melawan ketidakadilan, dia menangis saat melihat anaknya adalah pemenang, dia girang dan bersorak saat kawannya tertawa bahagia, dia begitu bahagia mendengar suara kelahiran. Dia begitu bersedih mendengar berita kesakitan dan kematian, tapi dia mampu mengatasinya. Dia tahu bahwa sebuah ciuman dan pelukan dapat menyembuhkan luka.” 

“Cintanya tanpa syarat. Hanya ada satu yang kurang dari wanita, Dia sering lupa betapa berharganya dia ..” 

#catatan usang no name~ tidak di ketahui siapa yang kreatif bikin ini ^^